Aku menatap kawanan gagak di pelataran menunggu kesiapan. Mencoba berdamai dengan kenangan. Merapikan kepingan-kepingan aksara kemudian merangkainya menjadi suara. Awan terlihat murung pagi ini. Membuka lembaran-lembaran penghabisan sisa semalam. Jejak-jejak bercak yang ragu pada senja sendu menasbihkannya pada segunduk pasir basah. Payung-payung beringsut memindahkan tetes air mata dari langit menuju persemayaman. Aku masuk lagi ke ruangan hampa tanpa perasaan, menikmati segelas kerinduan. kemudian bercermin pada jendela yang terbuka meski terus di dera luka.
Bisakah Kau pulangkanku sekarang? jendela tadi masih terbuka tanpa suara, namun dari dalam sayup-sayup terdengar. Belum giliranmu, tugasmu belum dikerjakan. Wahai angin yang sejuk, bila yang dibilang hilang terbilang apalah arti kami tekun menghitung ilalang. Amparan sajadahku menunjuk kubangan kehidupan yang entah ada dimana. Sujudku ke arah kiblat bukan barat. Kerja yang seperti apa lagi yang belum ku kerjakan?
Sebuah cermin yang diretakkan pada beberapa sudut menghampiri muka manusia tak bersuara. Itukah diriku yang memandangku dengan tatapan sendu. Siapapun orang yang ada disana hanya lurus menatap, tanpa balas, tak berani menjawab. Sekarangkah kesempatanku? Memang pagi tidak pernah mengatakan ini hari baik, ia hanya datang untuk menyampaikan bahwa kesempatan masih ada. Waktu belum bertemu liang. Menanti, berkabar, lalu menghilang. Tapi waktu terus berjalan.
Nada-nada minor pada nyanyian payung hitam di tengah kelebat hujan menandakan bahwa kawan bergumulku telah keluar menemui gagak-gagak tadi. Dia siap ? padahal kemarin, ketika kutanya apa kabar jasad, jasadku belum saatnya pudar, jawabnya. Tapi kini aku melihatnya berkompromi dengan gagak, ia pendusta.
Lalu, tiba-tiba satu diantara mereka mencabut cangkul, mengarahkannya ke tanah basah yang merah beberapa kali, dan ajaib, jadilah sebuah liang persegi panjang. Aku terus mengamati apa yang akan dilakukan si pendusta tolol itu. Ia bersimpuh? Mengapa? kedua tangannya rapat diarahkan ke angkasa, memohon pada hujan? Lah, bukannya dia siap, kataku.
Gerombolan gagak Mengelilingi kawanku, berteriak-teriak, berseru-seru, sahut-sahutan, menari-nari seperti gagak rabies. Lantas dalam satu hentakan, digelindingkan raga si pendusta ke dalam liang persegi. Si tolol memang sampai kapanpun tolol, lihatlah sekarang, dia malah memberi perlawanan, berteriak-teriak tidak mau, mengamuk, yang membuat gagak gagah murka, memang bego.
Gagak gagah menendangnya, menyeretnya masuk ke liang, lantas tertawa bahagia. perlawanan mubazir, pikirnya. Muncul beberapa cangkul, tanah basah dikeruk sejadi-jadinya oleh gerombolan gagak untuk ditumpukkan di liang persegi tadi. Lah, jadi kuburan?
Seseorang di cermin tadi melambai-lambaikan tangannya ke arahku, mau apa? Beberapa saat setelah itu ia terbang tapi tidak keluar dari cermin. Mau kemana? refleks aku bertanya. Bukankah kepergianku akan memulangkanmu? katanya sambil meninggalkanku.
Dari luar, gerombolan gagak melesat dengan hawa pembunuh yang kental terasa ke jendela tempatku berdiri sekarang. Aku menatap mereka, tersenyum, kemudian merentangkan tanganku, menyambutnya. Asik, sekarang giliranku.