Di penghujung jalan yang menjadi
pemisah antara kenyataan dan kepercayaan, terdapat sebuah toko yang didiami
beragam ras dan agama. Bila kau coba masuk ke dalamnya, kau akan melihat
hamparan sawah yang luas dan laut yang tak mengenal batas, keduanya dipisahkan
rak-rak yang lucu-lucu warnanya.
Pada rak berwarna merah dengan
corak putih-putih yang terletak di antara rak merah-putih-biru dan biru
bergambar kangguru, terdapat beragam boneka yang tersusun rapi seolah ada
tangan-tangan tak terlihat yang menjaga segala ketertibannya. Di antara
boneka-boneka yang lucu bentuknya dan manis senyumnya itu terdapat satu boneka
yang aneh, boneka itu jelas berbeda dari yang lainnya, ia berada di
tengah-tengah, pusat dari segala arah, orang-orang menyebutnya boneka kaca.
Boneka itu tak berwarna. Bening
serupa air. Tembus cahaya serupa kaca. Tak pernah ada yang tahu pasti mengapa
boneka tersebut bisa ditempatkan di rak ini, namun ada beberapa kepercayaan
yang menjadi asal muasal sampainya boneka kaca itu ke rak kusam ini.
Ada tiga cerita yang dipercayai dan
tersebar lewat mulut ke mulut para pengunjung. Pertama, meski terdengar ganjil
dan tak beralasan, para pengunjung percaya kalau boneka kaca itu adalah jelmaan
dari air mata Ibu Pertiwi. Pada suatu ketika ia menangis melihat kondisi anak
sulungnya yang murung sebab ditinggal pergi pacarnya untuk menemui senja di
Negeri Senja, pacarnya pergi membawa hati serta semua cintanya dan tak pernah
kembali lagi. Orang-orang jarang sekali melihat Ibu Pertiwi menangis terisak
seperti itu, maka pada satu waktu ada seorang seniman air mata yang
mengumpulkan butiran air matanya, kemudian ia beri sentuhan seni dan jadilah
boneka itu, bening sesuci air langit.
Kepercayaan kedua kudengar dari
seorang lelaki pada suatu hari. Saat itu ia bercerita kepada seorang pengunjung
lain yang baru datang dan bertanya perihal boneka kaca yang terpampang di
depannya. Katanya, boneka yang pertama kali ada di rak ini adalah dia-boneka
kaca itu, ia menjadi tonggak awal ditempatkannya segala jenis boneka ke dalam
rak ini. Jika kau lihat dan meneliti dari sudut ke sudut ruangan ini, di
rak-rak lain hanya ada satu warna dan satu bentuk boneka, namun di rak merah
keputih-putihan ini tersusun rapi beragam boneka dengan aneka bentuk dan banyak
warna, pernak-pernik yang terpasang juga berbeda antara satu dengan yang lain,
ada yang berwarna putih kekuningan memakai ikat kepala dan baju hitam serupa
pakaian muslim, ada yang memakai kebaya dengan gerakan menari serupa peri, ada
juga yang berwarna cokelat manis yang terletak di ujung paling atas rak ini,
banyak sekali boneka-boneka dari asal dan tentu keluarga yang berbeda.
Menurutnya, Tuhan Manusia telah menjadikan boneka kaca ini sebagai poros dari
kedamaian antara satu jenis boneka dengan boneka lain, ia menjadi pedoman
kerukunan semua boneka di rak ini.
Yang ketiga tersebar luas dan sudah
menjadi perbincangan lumrah jika membicarakan perihal asal-usul boneka kaca
itu. Ini tampaknya menjadi berita tanpa kata yang sudah mendarah daging di
kalangan pengunjung setia toko ini. Ketika itu musim kemarau panjang melanda
kota yang menyedihkan ini, kemarau yang sampai berpuluh tahun itu tak
menyisakan air barang setitik pun di kota ini, kebun-kebun mati, sawah-sawah
kering, banyak penduduk mati karena tak bisa mandi. Orang-orang yang kebanyakan
uang memilih pindah ke kota yang lebih diberkahi. Sedang untuk mereka yang
hidup dengan sengsara hanya bisa bolak-balik membeli air dari kota tetangga,
mereka tidak bisa pindah semaunya karena saat itu uanglah yang menggerakkan
semuanya. Setelah semua itu terjadi, penduduk yang menyerah dan tak kuasa untuk
pindah akhirnya pasrah. Keputusasaan menggerogoti tubuh mereka, mereka kurus
dan kering sekering-keringnya orang yang tak pernah lagi dibasuh air, dari
keputusasaan itu timbulah hati yang putih, lahirlah jiwa yang kosong, bersih,
tak menyisakan noda lagi.
Setelah semuanya pasrah dengan
keadaan dan mengharapkan sesuatu yang tak kunjung terkabulkan, akhirnya pada
suatu sore awan mulai menghitam, suasana mendung tentu sudah sangat
membahagiakan bagi mereka yang bertahan dalam kebijakan. Setelah sejenak
bermendung-mendung ria, akhirnya menetes juga hujan yang telah lama dirindukan
dan sangat dinanti-nanti kunjungannya. Pertama setetes, kemudian tetes-tetes
lain mengikutinya, namun jika kau perhatikan secara seksama hujan hari itu
bening berkilauan seperti kristal. Konon katanya orang tertua di kota ini yang
tetap tinggal dalam hening, si Kakek, mulai mewadahi air hujan berkilauan itu
ke dalam sebuah gelas, karena haus sudah kepalang maka diminumlah air hujan
itu, dan tak lama kemudian badannya mengecil, semakin mengerucut, lalu entah
pada detik ke berapa tubuhnya berubah menjadi boneka transparan seperti hujan
yang berkilauan tadi.
Sejak hari itu, hujan turun
terus-menerus secara teratur, hingga beberapa bulan kemudian ada seorang
kolektor barang antik yang mendengar mitos tersebut dan dia tertarik untuk
membuka usaha di kota itu. Lalu jadilah toko boneka ini, ia mendapat pasokan
boneka-boneka yang mungkin ceritanya hampir sama dari seluruh kota yang sudah
berpuluh tahun dilanda kekeringan. Ia kemudian mengumpulkan boneka-boneka
seperti itu dan mengoleksinya, koleksinya itulah yang kini terpajang di salah
satu rak di toko ini.
Tapi itu cerita dulu, kini toko itu
sudah tidak diurus, terbengkalai, catnya telah mengelupas, gerbang besinya
telah berkarat dan berdecit ketika coba digeser, rak-rak yang dulu lucu kini
banyak dicoreti grafiti yang tak jelas huruf dan maknanya, pengunjung yang
datang juga tak seramai dulu, sebenarnya penyebabnya memang serius. Boneka kaca
itu telah HILANG, sehingga para penjaga dan pengurus toko ini sibuk mencarinya
ke seluruh penjuru negeri, seolah segala sumber kemakmurannya adalah boneka
kaca itu.
Hari itu sudah gelap, mentari sudah
terlelap yang berarti sudah waktunya untuk bulan menunjukkan sulap.
Boneka-boneka lain telah menutup matanya daritadi karena ini akhir pekan, pengunjung
yang datang melebihi ramai hari biasa sehingga para boneka tidak bisa
mengistirahatkan matanya barang sebentar. Aku benar-benar ingat malam itu aku
masih terjaga sendirian ketika ada seseorang yang mengendap-endap mendekati rak
merah putih-putih itu. Mungkin mataku memang telah copot sebelah, tapi aku
secara jelas melihat mukanya, mukanya rata, tak ada apa-apa, ia adalah pria
yang tadi siang datang dan ingin membeli boneka kaca itu, namun pemilik kami
bilang ia tidak akan menjualnya berapa pun uang yang mau ia keluarkan. Pria itu
akhirnya pergi dengan wajah lesu, tapi tak kusangka ia berani berbuat seperti
itu, ia berjalan mendekat, berada di depan kami, lalu mendekap boneka kaca itu
dan membawanya pergi menjauh.
Paginya seisi kota gempar dan media
percetakan menulis berita mengenai hilangnya boneka kaca sebagai headline, Orang-orang sibuk
mempertanyakan siapa yang mencuri boneka sakti itu, mereka akhirnya juga sibuk
mencari setelah merasa bertanya tak akan menyelesaikan permasalahan. Sementara
yang lain sibuk mencari, orang-orang yang tidak mau kehilangan lagi kesempatan
untuk menjadi pemilik boneka-boneka yang memiliki kesaktian pergi ke toko yang
sudah tak dihiraukan. Hari demi hari, rak-rak mulai kosong karena isinya
dipreteli, satu per satu boneka hilang diambil orang, namun sampai sekarang tidak
ada yang tertarik membawaku untuk dijadikan sebagai barang kepunyaan, mereka
hanya memilih boneka-boneka yang lucu dan manis. Mungkin aku harus sadar diri,
aku hanyalah boneka cacat yang tak memiliki sebelah mata, benang-benangku sudah
banyak terjuntai sehingga isi perutku terburai keluar, aku hanya sebuah boneka
hasil dari pelecehan dan penyiksaan yang tak pernah dikatakan korban.
Sementara orang-orang
sibuk mencari boneka kaca, dan aku sibuk mengeluh tentang nasib. Kota ini sudah
bertahun-tahun tak lagi diguyur air hujan. Kering lagi, dan kebun-kebun mati, orang-orang
yang tak bisa mencuci kembali banyak yang mati, namun ada beberapa orang yang
duduk bersila di depan toko, membawa satu gelas kosong, sambil terus memandang
ke langit. Langit masih cerah, namun mereka mengharapkan musibah.