Gedung Tua Itu Tak Berpenghuni


Menyambut pagi dingin yang baru sisa dihantam salju, mengamati bekas-bekas perjalanan bulan di angkasa, mencari jejak-jejak fajar yang perlahan hilang tertutup awan. Kuhirup udara bumi dengan waktu yang diselimuti ketidakpastian ini. Menantikan detik ke detak, menit ke tahun untuk sesuatu yang masih terhalang bayang-bayang kelabu.

Sejatinya ini adalah tempat berlalu-lalang suara-suara getir manusia yang gundah ketika beberapa kepingan hatinya tergores. Tempat orang-orang berpura-pura sibuk. Tempat berkumpulnya para pengadu, orang-orang naif yang menolak digelari lugu.

Aku sampai di sini pagi hari saat sang mentari tak kuasa menahan rindunya pada langit yang daritadi dicumbu kedinginan. Dipeluknya mega, sangat mesra seperti kerabat lama yang telah berbulan-bulan tak bersua.

Kuciumi pilar-pilar yang gagah pada masanya, dan kini rapuh sebab jaman telah menggerogoti tubuhnya. Sepertinya kehidupan di sini sudah hilang, tewas di terkam pengkhianatan.

Tangga di pojokan menunggu jejak kehidupan. Jendela-jendela yang tak berkaca tak penat menantikan nyanyian. Bahkan pintu yang tak bisa berseru menyerukan sesuatu yang sering kali kita anggap tabu, rindu.

Untuk sejenak, hatiku melayang bebas menembus jalanan yang padat dilalui rombongan roda-roda.  berbelok turun, menukik naik untuk sampai pada tempat tujuan. Rumah di kampung halaman.

Rinduku tak tertahankan. Kegelisahanku selalu berusaha ku bungkam. Apa kabarmu di sana mama ?

Kesibukanku membuatmu gelisah, kepergianku yang dulu kau relakan meski dengan perdebatan panjang kini telah sampai pada masa-masa pengabdian. Aku akan terus berjuang demi sebuah pengakuan. Bukan dari dia, bukan demi mereka atau semua yang menganggapku tiada. Tapi untukmu dan untukku, pengakuan dari diri kita yang dulu.

Untuk kesingkatan jawabanku pada setiap panggilan yang kau mulai. Untuk ketidakromantisanku pada setiap pertemuan kala jarak dirapikan. Untuk semua egoku pada masa-masa lampau. Tidak ada kata yang sepadan daripada maaf.

Hatiku teriris, kala dihadapkan kenyataan bahwa kau dan aku dipisahkan. Sukmaku tersiksa saat mendengar kabar tidak mengasyikan. Tapi akan selalu kuingat pesanmu bahwa kesabaran tidak ada batasan.

Saat ku melihat gedung tua itu, ingatanku dilemparkan pada sebuah kamar yang ku kosongkan, kamar yang isinya ku preteli untuk bekal menguji diri. Untuk diri sendiri.

Tangisan, senyuman, kesenduan, kebahagiaan, amarah, kasih sayang dan segala yang terekam oleh kamarku mungkin juga tersimpan jelas dalam ingatan gedung tua itu. Hari demi hari berlari, waktu ke waktu berlalu sampai akhirnya tiba masa dimana kamar dan gedung itu ditinggalkan para penghuninya. Menyisakan ruang yang sangat luas untuk dikenang.

Namun ada masanya pergi ada masanya pulang -dalam arti yang abadi. Mungkin hanya sang waktu yang benar-benar tahu. Tapi aku akan selalu ingat jalan menuju rumah, arah menuju pulang -dalam kepastian. Nanti.

Kupandangi lagi tembok-tembok penampung rindu sebelum langkah terakhirku. Gelap. Gedung tua itu tak berpenghuni.

Kumpulan Cerita Pendek, Puisi, Ulasan Buku, Keseharian, serta Kenangan akan segala hal yang tak dapat diucapkan. Baca, Rasakan, dan Lihat Kenyataan.

1 komentar:

Lanjutkan menulis min mantap...

salam
Pongery