"Apa sebutanmu untuk rindu yang telah mati lalu tumbuh kembali?"
"Aku menyebutnya ziarah."
"Ziarah?"
"Iya. Ziarah rindu."
"Aku menyebutnya ziarah."
"Ziarah?"
"Iya. Ziarah rindu."
Entah kenapa, tak ada yang berbeda dari sejak pertama kita bertatap penuh duga. Tak ada yang tahu mengapa semuanya tetap sama, bahkan bekas luka yang tertanam dalam di hati pun tak berubah, masih tetap membekas dalam dengan duri-duri yang menusuk tajam.
Tak ada yang tahu sampai kapan pengobatan bisu ini diselesaikan, mungkin sampai kita sama-sama menemukan pasangan, tentu saja kita, bukan kau saja. Karena semenjak hari suram itu kesepian kembali meyapaku lewat pohon-pohon yang meranggas membuang kenangan-kenangan indah yang terlewat begitu saja.
Kini tak ada lagi sisa cinta ku yang seutuhnya, setengahnya telah ku berikan di awal perjumpaan dibarengi dengan kata-kata yang teramat mewakili perasaan. Sementara setengah lagi kau ambil diam-diam hari demi hari, hingga tak bersisa kemudian kau buang karena tak ada lagi yang bisa ku berikan, katamu. Padahal dirimu sendiri yang mengambilnya perlahan-lahan, aku curiga itu hanya alasan saat kau sudah bosan.
Setidaknya aku telah berusaha menggali pusara untuk memakamkan kenangan dan keheningan bersamamu di hari-hari lalu. Meski tak seutuhya terkubur dalam tenang, hatiku telah berikrar bahwa akan mendatangi pusara ini di saat-saat aku telah bangkit dari penyesalan. Itulah alasan mengapa kini aku datang ke tempat ini untuk menemuimu, untuk menjemput kenangan yang telah ku rapikan. Tempat ini masih sama, rasanya, baunya, serta suara-suara merdu yang mengiringinya. Yang berbeda hanya rasaku, bau tubuhmu, serta alasan yang membawa kita ke tempat yang menyedihkan ini.
Kemudian kau berkata, "Apa kamu rindu kepada ku?"
Ku jawab dengan senyuman "Rinduku telah mati," Kataku, "Di sini!" Kemudian ku berlalu.