Sehabis obrolan singkat di telpon tadi, air mataku tak bisa lagi disuruh diam, ia malah membuncah tak berkesudahan diiringi bunyi ngiik ngiik yang sangat fals untuk didengar. Terlalu banyak peristiwa yang terekam dalam kata, sudah banyak cerita yang dilalui oleh suara, maka ketika suara dan kata itu tertuju pada seseorang yang amat istimewa bagimu, mama, maka semua peristiwa dan cerita itu berhamburan dalam pikiran, lalu menyentuh hati dan rasa yang menghasilkan jejak basah pada pipi yang merah.
Satu tetes jatuh untuk cerita ketika kita bersama tidur dalam satu ranjang dengan seorang lelakimu yang ku panggil bapa, entah telah berapa lama ia meninggalkan kita berdua dalam ketakutan yang menjelma kehangatan ketika fajar tiba.
Tetesan yang lain mencair untuk peristiwa-peristiwa sakral yang telah kita lalui bersama, seperti ketika kau yang berbahagia setelah selesai rapat orang tua dan kau pulang membawa berbagai piala yang disertai amplop tentunya. Betapa kau banggakan hasil belajarku itu pada saudara-saudaramu meski beberapa hari setelah itu kau marahi aku lagi karena tak sengaja salah menuangkan kuah kolak ke nasi dan gorengan yang seharusnya disiram oleh bumbu kacang. Ya tak apalah.
Atau ketika kita bertamasya berdua menikmati dingin dan angin di atas hamparan permadani, kemudian kita berbicara tenang, berbahagia dengan senang, sebuah perbincangan yang amat mengasyikan. Seperti ketika aku dibuat tertawa kala kau ceritakan hal-hal yang ku lakukan ketika kecil dan masih mungil, ketika aku malu-malu mengambil kue kala datang tamu, saat tak sengaja menjatuhkan sesuatu lalu menangis bukan karena sesuatu itu menimpa kaki, namun lebih takut membuat marahmu keluar lagi.
Kemudian tetes-tetes lain keluar untuk kenangan. Kenangan indah, haru, dan bahagia saat aku masih bersama mama, menikmati pagi dengan kesibukanku mencari buku-buku diiringi oleh merdunya omelanmu, menjalani siang dengan tenang di atas ranjang, atau kala malam ketika kau menyuruhku belajar lalu ku bantah dengan perkataan "Ini sedang belajar, belajar memahami kisah di televisi". Banyak kisah yang tak bisa ku ceritakan padamu entah karena memang tak ada atau memang karena begitu menyenangkannya peristiwa kita lantas ku lupa, karena bukankah memang segala peristiwa yang sangat menyenangkan itu bak peristiwa sejarah yang bahkan sebuah potret tak akan mampu mengabadikannya, ia hanya akan menjadi kenangan yang tersimpan dalam kening, rasanya masih terasa, bahagianya tetap ada, namun tak bisa diutarakan dengan kata dan suara.
Lalu butiran terakhir membuncah untuk kejadian-kejadian yang telah aku lalui dengan kasih dan doamu hingga aku sampai pada fase ini. Teruslah hujani aku dengan doamu, deringkan telponku oleh panggilanmu, romansaku untukmu, satu notifikasi darimu lebih berharga daripada seratus pesan dari wanita yang entah maunya apa. Tetaplah sehat, teruslah bersemangat menunggu. impianku ada dalam setiap doamu, dalam denyut nadimu, dalam segala suara yang dilafalkan mulutmu. Kemudian kau usap pipiku. Kering.
Sesudah itu air mataku reda. Rindu mengendap dalam kata. Sehabis itu citaku kecil saja: Ingin pulang ke rumah kala sore, lalu berbincang dengan mama di antara secangkir kopi dan kehangatan senja kemudian berkata "Aku sayang mama" sudah itu saja.