Ijinkan Aku Memayungimu Dengan Sederhana


Ijinkan aku memayungimu dengan sederhana. Seperti pada pagi kemarin ketika kita dipaksa memajukan rutinitas harian lalu hujan turun memeluk pagi yang kedinginan, lantas ku bukakan payung kecilmu yang dinaungi harapan, lalu kita berjalan berdua meniti rintikan, aku memegangnya gemetaran, gugup, sementara kedua pipimu memancarkan warna merah pudar tanda kemalu-maluan.

Ijinkan aku memayungimu dengan sederhana. Di kala hujan, agar kau tak mengenang masa lalu ketika tetes-tetes kenanganmu bersama dia yang telah lalu jatuh tepat di atas ingatanmu, kemudian ku halangi dengan kanopiku untuk ku seret ke belakang agar pandanganmu tetap lurus ke depan, menatap masa yang akan datang, bersamaku.

Ijinkan aku memayungimu dengan sederhana. Ketika siang, kala kau bosan pada kehangatan yang mendinginkan perasaan, lalu bau tubuhmu mencair mencari kebahagiaan. Atau saat ucapan dan tindakan orang-orang membakar tengkuk indahmu, sampai-sampai keringat bercucuran pada dahimu lalu kau tertunduk lesu pada keadaan, aku akan  tetap berdiri bersama payung terbuka di sampingmu.

Ijinkan aku memayungimu dengan sederhana. Sampai kita tua, sampai panas dan hujan reda, sampai semesta, lelah memberi jeda.

1 komentar:

Me-Lamun-Kan Pe(N)-Rasa-an


Ketika remaja aku mencari-cari wanita,  terus melangkah membabi buta, sampai tak terasa telah kutinggalkan sebuah cerita tanpa landasan dunia nyata demi sesuatu yang belum kasat mata, namun tak jua ku temukan cinta. Hanya sebuah berita tanda sedu dan duka yang lebih kita kenal sebagai derita.

Hatiku terus memilah mencari celah, mengeruk bunga-bunga yang berguguran, memeluk semua pencahayaan dari hati yang mungkin hanya sekadar basa-basi. Sebentar saja, sekejap saja, namun tak ada yang tepat untuk singgah, tidak pernah ada yang datang lalu ku sambut dengan harapan, semua datang untuk ku lihat, kemudian ku tinggalkan ketika gelap mendekat.

Ketika melamunkan perasaan, memberi makna pada kehidupan, membiarkan kejadian pada keadaan, aku terdiam, bukan sebab lelah, namun saat itu aku tersadar. Bahwa tidak segenap rasa harus dipaksa, tak semua cinta mesti dipinta, biarlah keadaan menyatakan dan waktu menyatukan. Semesta akan memberikan pemahaman, bahwa dengan merelakan kita akan mendapatkan, bahwa ikhlas membuat kita berkelas. Perihal rasa biarlah itu urusan yang Maha Merasa. Masalah hati akan ku simpan dalam diri, karena apabila telah terpatri ia akan menemukan sendiri arti. Dan urusan cinta, akan ku biarkan ia membabi buta, karena bila memang itu cinta, ia akan mendatangkan pasangannya dengan sederhana.

Perihisasi Puisi


Engkau pesona tempat segala harap ada
Kaulah raga yang menatapku penuh cinta
Engkaulah denyut pada setiap romansa

Bersamamu menjadikanku manusia
Berjalan denganmu membuat langkah tak terasa
Aromamu memanjakan mata dan
kau buat bahagia semesta

Seperti padang rumput yang tenang
Ku singgahi kau tanpa perlu menunggu luang
Selayaknya putri permata
Kan kujalin gerai rambutmu

Bibir saling beradu
Tangan saling meramu
Kau buatku bahagia
Tapi tak lupa menabur luka


Pada Sebuah Masa





Tatap mataku sekali lagi kemudian ulangi perkataanmu tadi. Kata-katamu tak bisa ku terima sebagai kata, hanya ungkapan tanda menyerah dan putus asa. Ada apa denganmu, Cinta. Tiba-tiba kau relakan tanganmu menyentuh dengan keras pipi kiriku kemudian kau menangis tersedu. Apa yang salah denganku? Apa kau tak bisa menerima segala hal baik tentang diriku? Apa kau malu berdua meniti waktu denganku? Atau, aku memang sudah tak pantas menempati tempat khusus di hatimu.

Aku yang tak pantas untukmu, katamu sambil menekuk leher. Kau arahkan padanganmu, aku melihat buliran air dari mata indahmu, menetes membasahi pipi.

Ku tadah air matamu sebelum jatuh ke bumi, menarik ragamu, ku peluk kau ke dalam dekapanku. Lalu didekat telingamu kubisikan bahwa tak ada yang lebih membahagiakanku dari kesederhanaanmu, keapaadanyaannya dirimu, seperti ini Cinta, aku tambah bahagia mencintaimu. Sudah jangan menangis, tak akan ku biarkan semesta merasakan air  matamu. Kemudian ku eratkan dekapanku, dan lenganmu melingkari punggungku.

Kita di antara Kata



Tiba-tiba kau tediam, terpaku dengan senyummu.Tiba-tiba dunia terhenti, asik memandangi senyummu.

Kau bawakan sebuah kopi dengan secangkir hati, lengkap diaduk rindu lalu dihidangkan tepat dalam pelukku. Ku cium bau minuman kesukaan kala pikiran tak jua menemukan jalan keluar, dan saat rasaku benar-benar diolesi beribu kenangan yang menyesakkan, ku biarkan ia memenuhi pikiran. Sepuluh tahun lalu adalah pertemuan terakhirku denganmu pada senja di sebuah pelabuhan.

Kau mengantarku dengan senyum dan lambaian tanganmu, lalu kau biarkan seluruh dunia iri padaku karena ada sesuatu yang lebih indah dan memikat daripada sebuah senja di pelabuhan dan sesuatu itu ditujukan langsung ke arahku, khusus untukku. Iya, senyummu yang memabukkan. Sejak sore itu aku berhenti bertanya, mengapa aku terus saja mencintaimu.

"Benarkah?" Katamu sambil meletakkan kaleng biskuit sisa Hari Raya kemarin, dan aku sudah tidak akan tertipu lagi oleh isinya.

Iya, kataku. Lalu memerah pipi lucumu, kau mungkin tidak pernah tahu betapa aku tidak pernah bisa mengetahui cara bagaimana membicarakan ini denganmu, membincangkan rasa yang telah lama ku kubur menjadi kenangan.

Cemburu, rindu, dan cumbu ada di dalam sebuah ungkapan sendu. Melankoliku malam ini untukmu kekasihku. Romansaku padamu tetap dan akan selalu sederhana seperti rintik yang lama-lama menggenang lalu dilibas waktu untuk dikenang. Aku masih di sini, mencari kata yang dapat mengucapkan kita. Terus memburu bahagia untuk bisa berasmara bersama.

"Orang bilang, mas penyair. Lalu mengapa begitu sukar untuk membuatkanku sebaris syair?"
Bukannya begitu gadisku yang lucu, ini bukan tentag bagaimana aku menyusun kata menjadi kita, atau seberapa sering aku merangkai kalimat menjadi nikmat, ini urusan hati, dan kau sendiri pun pasti tahu kalau sudah berkaitan dengan hati, semuanya akan dipikirkan sampai berkerut-kerut dahi.

Kau tahu sahabatku, ketika itu, dulu  aku tak seberani sekarang berbicara denganmu, dan sampai sekarang aku belum juga bisa bicara terus terang kepadamu, iya tentu saja tentang rasa ini.
"Seperti yang mas bilang, taman kecil ini milik kita berdua, kita bebas mau melakukan apapun, berbincang mengenai apapun, bebas. mas mau bercerita tentang negeri yang orangnya lucu-lucu, berkisah tentang dongeng masyarakat yang lebih menghormati yang mati, ataupun tentang politik orang-orang gila itu, silahkan, tentu saja tak akan ku dengarkan."

Sebaiknya kita berkata-kata tentang kita saja. Membicarakan kelakuan orang-orang itu tak akan menemukan akhirnya. Kau pasti ingat betapa kau sangat tertarik pada ketampananku.

"Dan mas juga tidak lupa bukan, bahwa sekarang aku telah bersuami."
Tentu saja. Bahkan aku tidak lupa kalau aku berjalan ke sini untuk menenangkan hati dari ocehan istriku yang tengah datang bulan. Lihatlah betapa waktu tak membiarkan kita satu, aku yang mencintaimu lebih dulu malah terkurung dalam ikatan tanpa hati yang setuju. Juga kau yang terikat dengan manusia beranak tiga itu.

"Hus, itu suamiku, jangan gegabah, dan satu lagi, anaknya bukan tiga, tapi lima." Lalu kau tertawa
Benar, itu suamimu. Aku minum ya kopimu. Lidahku senang mencecap tetes demi tetes dari kopimu, mengalir ke tenggorokan sebuah kelezatan tanpa cacat sedikitpun. Rasanya tak ada kenikmatan yang lebih sempurna dari kocekan segelas kopi milikmu. Itu siapa?
"Keponakanku. Dia sekarang sudah tumbuh besar dan pandai, tahun kemarin di kelas satu, ia mendapat peringkat tiga, benar-benar membanggakan."

Dengan bawaan sebanyak itu ia baru menginjak kelas dua? Luar biasa anak-anak zaman sekarang, pantas saja tubuh mereka kecil kerempeng seperti itu, kini aku tahu penyebabnya. Coba kau suruh dia ke sini.

"Sudahlah jangan ganggu dia. Biarlah semangat belajarnya tetap terjaga hingga ia bisa memahami isi dunia."

Memangnya kenapa, aku hanya ingin bertanya kepadanya untuk apa ia membawa buku sebanyak itu. Buku-buku yang tak pernah habis ditulisi, buku yang bahkan tak sampai hati membuat kepala terisi, dan kau juga pernah mengalami bukan bagaimana kita dijelali LKS yang menyuruh menjelaskan dengan diberi kolom jawaban yang 'begituuuuuuuu panjang', bukan begitu? Lantas kau apakan kertas buku berisi kertas buram yang lebih pantas dijadikan bungkus gorengan itu?

"Ya tentu saja aku mengisinya. Kau tahu, aku menjawab dengan pensil tumpul. Dan kau pun tahu jika aku menjawabnya panjang melebihi pinggiran-pinggiran dengan tulisan yang sengaja dikecilkan, ya mungkin kau pun setuju bila kau menyebutnya tulisan cacat."

Benar, sistem seperti ini terus saja dilanjutkan. Dan kau pasti belum tahu berapa banyak pelajaran yang mesti dihafalkan keponakanku yang masuk sekolah menengah atas tahun ini. Dua puluh empat. Bayangkan kau mesti hafal dua puluh empat pelajaran dengan masing-masing tugas pada setiap harinya, tugas yang bila kita minimumkan waktu pengerjaannya selama satu jam, maka keponakanku akan menghabiskan satu hari penuh dengan buku-buku itu, tanpa makan, minum, tanpa tidur dan tanpa pacaran, betapa malang nasibnya. Aku sangat kagum pada mereka yang masih bisa hidup dengan semua itu.

"Ya seperti itulah, sistem seperti ini sengaja dibuat orang pintar untuk terus membuat orang-orang seperti kita terbelakang. Maka dari itu, ku biarkan anak-anakku berangakat ke sekolah supaya mereka tidak dibodoh-bodohi seperi kita."

Dengan memasukkannya ke dalam sistem itu? Terserahlah. Asal jangan kau biarkan akalnya tercabut dari alam, jagalah hatinya supaya tak tebawa ke dalam tanah, dan kepintarannya jangan digunakan untuk memenjarakan rasa sayang.

Sudah ya aku pulang. Istriku pasti sedang mencoba memasak api menggunakan air. Jangan rindu ya, itu berat, kau tak akan kuat. Mending kangen saja.

Mentari bercermin pada lautan,lalu hilang di kegelapan. Senyummu hilang ditelan tikungan, lalu terkenang dalam ingatan.

3 komentar

Cerita (bukan) Tentang Kita



Lidahku berkelit mengucap kata, bibirku menggelitik disentuh rasa, ada sesuatu yang tak bisa terjadi seperti apa adanya, hingga kau lewat menyisakan penyesalan pada akhirnya. Kau pun begitu, dalam diam hatimu bertanya-tanya. Kau berlalu tanpa kata, lalu pandangmu menemukan kita, dalam tubuhmu terbungkus lengkap sebuah pinta untuk tanya yang tak jua ku jawab hingga senja sirna.

Perihal cinta yang lama biarlah menjadi nostalgia. Ingatan-ingatan membentuk sebuah ikatan lalu terputar sebuah kejadian di mana kau dan aku rasanya teah menjalin hubungan. Begitu tampak nyata dalam keheningan, suara-suara mesra memenuhi langit-langit kata, aroma-aroma asmara menikam jiwa untuk memberikan kesenangan yang tak bisa dihentikan semesta.

Pagi, kataku. Pada awan yang berjalan-jalan di angkasa saat sang surya baru menitipkan cahaya pada dunia. Kupandangi langit dan berharap awan akan sampaikan pada angin lalu angin harus pergi membawakannya padamu hingga aku bisa berangan. Kau menulis kisah keluh kesahmu pada setetes tinta, lalu resah itu tak kau biarkan ku buka. Kau endapkan terus tulisan tentang rasa, begitu juga rasa itu sendiri yang sama-sama kita biarkan terlelap dalam asa tanpa pernah dibiarkan tumbuh lalu ada.

Kerelaan lahir dari perkawinan antara memahami dan menyepakati. Kita memang sudah berikrar dalam gelap, bahwa pada suatu masa adalah kenangan yang tak perlu dibicarakan. Langkah kita perlahan semakin menjauh sisi pada sisi. Jejak kakimu merdu diiringi nyanyian burung-burung, sementara kakiku diam tanpa suara, senyap dan akan lenyap bersama gelap. Bagiku, terlalu berat melawan hati, sehingga lebih baik mati daripada harus berdiam diri memandangi rasa sakit karena berkelit.

Kita menghabiskan diam berdua, membiarkan dingin segelas kopi di atas meja. Bersama sunyi yang kita rekayasa di antara sejuk dan kabut manja, kita mulai menikmati keheningan seketika. Angin meresap ke dalam kulit, kicauan serangga pada bunga-bunga, nyanyian petani untuk padi, denyut-denyut semesta ini, biarkanlah merobek sepi.

Kemesraan ini jangan cepat pergi, akan ku awetkan menjadi kisah yang menentramkan. Kedamaian ini tak akan ku biarkan cepat berlalu, sehingga aku dan kau akan terus berdua sepanjang waktu. Lirihmu akan ku kenang dalam kening, rasamu biar ku timbun dalam asa, akan ku upayakan agar tersimpan pada sebuah halaman, pada sebuah cerita yang (bukan) tentang kita.

1 komentar:

Rintik yang Tenang


Di penghujung tahun yang pasti akan menjadi ingatan untuk dikenang di hari tenang, semesta memberikanku pemahaman bahwa tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni. Ia merahasiakan rapat sekali, tanpa celah, sebuah rahasia antik, rintik-rintik rindu kepada akar pohon berbunga cantik.
Tetes demi tetes telah tertidur dalam kenang, hingga hanya kening yang mampu mengenang. Rindu kemudian mengalir lewat sela-sela bebatuan dalam tanah yang pada masa lalu subur –katanya. Menikam hati kemudian membuat himbauan hati-hati, padahal di hatinya sudah tak ada hati. Orang-orang seperti itu memang selalu saja ada, tidak bisa kita buat mistik menjadi hampa.
Rintik-rintik itu mengalir bersama air hujan dan kenangan yang dibawanya, air sawah dan peluh yang diendapkannya, juga air mata dengan bahagia dan kesenduannya. Melintas tak kenal batas, berkelok lalu bermuara dengan angan hingga akhirnya menemukan pegangan.
Menjadi ikhlas memang harus belajar rela melepas, memahami air tidak perlu menjadi cair, mengikuti setiap langkah yang dilalui si rintik kecil akan membawamu pada pengertian bahwa yang kecil tak selalu berhati mungil, bahwa yang mungil bahkan lebih berarti daripada nihil.
Berenang bersama arus di hari hangat dengan cahaya mentari yang sedikit menyengat. Kita mesti sadar bahwa pembenaran tidak selalu membuat benar dalam arti yang sebenarnya. Ada beberapa tanda yang mesti dibetulkan, ada makna yang harus diselamatkan. Karena kebenaran tidak hadir dari pengertian semaunya namun lewat pemahaman semuanya.
Beribu berita sampai pada kuping kita setiap hari, ratusan asa muncul setiap pagi, jutaan rasa muncul setiap saat, sering kali. Hiruk pikuk manusia sibuk di antara kursi dan sabuk. Kita mesti ingat bahwa beberapa kata memang bebas terucap, namun biarlah yang lain mengendap. Tak perlu kita sadap semua omongan yang akan ramai bila disantap.
Serangkaian nada-nada minor terdengar syahdu bila didendangkan dengan nuansa khidmat dan sendu. Tampak mantap, apalagi ketika mata beradu tatap. Belajarlah dari angin yang berbisik, dari gemerisik dedaunan, atau rinai hujan yang bergemercik. Tidak perlu berisik. Karena nada yang indah tidak selalu keluar dengan cara berisik, kadang kala ia berbisik.
Seperti awan yang dalam diamnya berusaha membendung air mata. Seumpama pohon yang dalam keteduhannya menyimpan banyak rasa yang rahasia, dan hujan yang mengecilkan teriakan-teriakan penuh makian membuat dunia tenang dengan tetesan.
Biarlah orang tahu dan paham apa yang dikerjakan, sehingga tidak berkeliaran kisah yang kelabu di antara manusia-manusia yang ingin tahu. Setiap orang mempunyai masalah, maka jangan kita tambahi lagi dengan risalah yang salah. Sekalipun kau tahu cerita apa yang terjadi sebenarnya, diamlah.
Seperti hujan bulan juni yang dengan apik merasiakan rintik-rintik yang cantik. Begitupun kita, jadilah bijak dengan bajik, tuailah biak dari baik, menjadi diam bukan berarti menyimpan rasa terpendam, namun mencegah, membuat padam semua dendam.
Rintik hujan itu akhirnya bermuara di lautan. Bersama rintik lain ia diam, bersama lautan ia tenang. Kita menamai itu keindahan. Bersama senja kita menyebutnya kedamaian.
*meminjam larik ‘Hujan Bulan Juni‘ karya Sapardi Djoko Damono

2 komentar