Di penghujung tahun yang pasti akan menjadi ingatan untuk dikenang di hari tenang, semesta memberikanku pemahaman bahwa tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni. Ia merahasiakan rapat sekali, tanpa celah, sebuah rahasia antik, rintik-rintik rindu kepada akar pohon berbunga cantik.
Tetes demi tetes telah tertidur dalam kenang, hingga hanya kening yang mampu mengenang. Rindu kemudian mengalir lewat sela-sela bebatuan dalam tanah yang pada masa lalu subur –katanya. Menikam hati kemudian membuat himbauan hati-hati, padahal di hatinya sudah tak ada hati. Orang-orang seperti itu memang selalu saja ada, tidak bisa kita buat mistik menjadi hampa.
Rintik-rintik itu mengalir bersama air hujan dan kenangan yang dibawanya, air sawah dan peluh yang diendapkannya, juga air mata dengan bahagia dan kesenduannya. Melintas tak kenal batas, berkelok lalu bermuara dengan angan hingga akhirnya menemukan pegangan.
Menjadi ikhlas memang harus belajar rela melepas, memahami air tidak perlu menjadi cair, mengikuti setiap langkah yang dilalui si rintik kecil akan membawamu pada pengertian bahwa yang kecil tak selalu berhati mungil, bahwa yang mungil bahkan lebih berarti daripada nihil.
Berenang bersama arus di hari hangat dengan cahaya mentari yang sedikit menyengat. Kita mesti sadar bahwa pembenaran tidak selalu membuat benar dalam arti yang sebenarnya. Ada beberapa tanda yang mesti dibetulkan, ada makna yang harus diselamatkan. Karena kebenaran tidak hadir dari pengertian semaunya namun lewat pemahaman semuanya.
Beribu berita sampai pada kuping kita setiap hari, ratusan asa muncul setiap pagi, jutaan rasa muncul setiap saat, sering kali. Hiruk pikuk manusia sibuk di antara kursi dan sabuk. Kita mesti ingat bahwa beberapa kata memang bebas terucap, namun biarlah yang lain mengendap. Tak perlu kita sadap semua omongan yang akan ramai bila disantap.
Serangkaian nada-nada minor terdengar syahdu bila didendangkan dengan nuansa khidmat dan sendu. Tampak mantap, apalagi ketika mata beradu tatap. Belajarlah dari angin yang berbisik, dari gemerisik dedaunan, atau rinai hujan yang bergemercik. Tidak perlu berisik. Karena nada yang indah tidak selalu keluar dengan cara berisik, kadang kala ia berbisik.
Seperti awan yang dalam diamnya berusaha membendung air mata. Seumpama pohon yang dalam keteduhannya menyimpan banyak rasa yang rahasia, dan hujan yang mengecilkan teriakan-teriakan penuh makian membuat dunia tenang dengan tetesan.
Biarlah orang tahu dan paham apa yang dikerjakan, sehingga tidak berkeliaran kisah yang kelabu di antara manusia-manusia yang ingin tahu. Setiap orang mempunyai masalah, maka jangan kita tambahi lagi dengan risalah yang salah. Sekalipun kau tahu cerita apa yang terjadi sebenarnya, diamlah.
Seperti hujan bulan juni yang dengan apik merasiakan rintik-rintik yang cantik. Begitupun kita, jadilah bijak dengan bajik, tuailah biak dari baik, menjadi diam bukan berarti menyimpan rasa terpendam, namun mencegah, membuat padam semua dendam.
Rintik hujan itu akhirnya bermuara di lautan. Bersama rintik lain ia diam, bersama lautan ia tenang. Kita menamai itu keindahan. Bersama senja kita menyebutnya kedamaian.
Rintik-rintik itu mengalir bersama air hujan dan kenangan yang dibawanya, air sawah dan peluh yang diendapkannya, juga air mata dengan bahagia dan kesenduannya. Melintas tak kenal batas, berkelok lalu bermuara dengan angan hingga akhirnya menemukan pegangan.
Menjadi ikhlas memang harus belajar rela melepas, memahami air tidak perlu menjadi cair, mengikuti setiap langkah yang dilalui si rintik kecil akan membawamu pada pengertian bahwa yang kecil tak selalu berhati mungil, bahwa yang mungil bahkan lebih berarti daripada nihil.
Berenang bersama arus di hari hangat dengan cahaya mentari yang sedikit menyengat. Kita mesti sadar bahwa pembenaran tidak selalu membuat benar dalam arti yang sebenarnya. Ada beberapa tanda yang mesti dibetulkan, ada makna yang harus diselamatkan. Karena kebenaran tidak hadir dari pengertian semaunya namun lewat pemahaman semuanya.
Beribu berita sampai pada kuping kita setiap hari, ratusan asa muncul setiap pagi, jutaan rasa muncul setiap saat, sering kali. Hiruk pikuk manusia sibuk di antara kursi dan sabuk. Kita mesti ingat bahwa beberapa kata memang bebas terucap, namun biarlah yang lain mengendap. Tak perlu kita sadap semua omongan yang akan ramai bila disantap.
Serangkaian nada-nada minor terdengar syahdu bila didendangkan dengan nuansa khidmat dan sendu. Tampak mantap, apalagi ketika mata beradu tatap. Belajarlah dari angin yang berbisik, dari gemerisik dedaunan, atau rinai hujan yang bergemercik. Tidak perlu berisik. Karena nada yang indah tidak selalu keluar dengan cara berisik, kadang kala ia berbisik.
Seperti awan yang dalam diamnya berusaha membendung air mata. Seumpama pohon yang dalam keteduhannya menyimpan banyak rasa yang rahasia, dan hujan yang mengecilkan teriakan-teriakan penuh makian membuat dunia tenang dengan tetesan.
Biarlah orang tahu dan paham apa yang dikerjakan, sehingga tidak berkeliaran kisah yang kelabu di antara manusia-manusia yang ingin tahu. Setiap orang mempunyai masalah, maka jangan kita tambahi lagi dengan risalah yang salah. Sekalipun kau tahu cerita apa yang terjadi sebenarnya, diamlah.
Seperti hujan bulan juni yang dengan apik merasiakan rintik-rintik yang cantik. Begitupun kita, jadilah bijak dengan bajik, tuailah biak dari baik, menjadi diam bukan berarti menyimpan rasa terpendam, namun mencegah, membuat padam semua dendam.
Rintik hujan itu akhirnya bermuara di lautan. Bersama rintik lain ia diam, bersama lautan ia tenang. Kita menamai itu keindahan. Bersama senja kita menyebutnya kedamaian.
*meminjam larik ‘Hujan Bulan Juni‘ karya Sapardi Djoko Damono