
#Prekuel ALOHA 2017
Saat itu bulan hujan, atau lebih akrab kami menyebutnya musim penghujan. Musim di mana langit-langit kota murung lalu didesak menangis terisak ketika mega sudah tak kuasa menahan sesak.
Mengambil latar pada waktu puisi dibuat. Aku hidup sebagai Handarbeni, seorang pengusaha properti yang kelak pada hari esok anak dari anaknya akan menancapkan tentakel kekuasaannya pada bumi yang permai ini. Seorang lelaki perkasa yang tidak pernah memikirkan tentang perempuan dan cinta, seorang pemuda dewasa yang sering diolok untuk dicarikan pendamping oleh pegawainya.
Lawan mainku Puspa (Felisitas Dwhani Wihangga) merupakan pemilik butik terkenal di Jogja. Kami bertemu pada sebuah senja di pelabuhan kecil ketika aku hendak berangkat ke Raja Ampat untuk menikmati hasil kerjaku setahun lalu, dan ingin menjauh dari serangkaian omongan tak masuk akal bahwa seorang pemuda yang baru menginjak usia tigapuluh dua harus segera mempunyai seorang wanita. Berangkat sendiri bergandengan dengan sepi kulihat ia memandang langit jingga yang sebentar lagi gelap. Dan mereka menyebutnya apa? Oiya, senja.
Angin manja yang diam-diam menerbangkan helai-helai rambut, gesekan butir-butir pasir basah yang terhempas ke timur kemudian diseret lagi oleh air yang kembali ke laut, suara deburan ombak yang syahdu melepas rindu yang mengangkasa, kepakan burung-burung di kejauhan langit yang mulai menenggelamkan surya dan membuat dirinya jingga merona, lalu di tengah-tengah itu semua ada seorang wanita tengah berdiri memandang senja.
Rambutnya tergerai, sedikit melewati bahu lalu di tiup-tiup oleh angin pantai yang berhembus ke selatan. Dari jarakku terlihat siluet rok bercorak bunga yang melambai-lambai diterbangkan angin bersama riuh ombak yang terus menderu. Tangannya direntangkan, kemudian digerakkan ke dalam seolah jingga yang mengangkasa di langit itu telah berhasil didekapnya, lalu setelah berada tepat dalam peluknya ia menghirup aroma senja yang saat ini tengah ku nikmati bersamanya. Sebuah senja yang sempurna.
Dalam waktu yang singkat ku kira, atau memang perasaanku yang mempersingkatnya, kita dekat, lekat lalu terikat. Aku sudah lupa bagaimana kemudian kami menjalani liburan yang terlalu murah untuk dibilang sempurna itu. Hari-hari terbaik yang dilewati dalam hidup yang terus memanjang tanpa ujung yang terang. Partikel-partikel cinta bertaburan pada sebuah perjalanan yang tidak diduga bakal menumbuhkan rasa-rasa yang membingungkan. Aku yang telah puluhan tahun hidup dengan kehampaan akhirnya menemukan seseorang yang bisa mengisi sebuah kekosongan. Sebongkah cinta tumbuh melalui pembiaran.

Kami akhirnya melangsungkan pernikahan pada sebuah gedung bundar berlapiskan kaca tebal dengan pelaksanaan pada Selasa legi berdasarkan perhitungan weton dan juga nogo dino. Pernikahan kami tidak terlalu mewah namun tidak bisa dibilang sederhana juga, ya tak apalah kalau kau mau mengatakan mewah, aku tidak akan marah, memang begitu kenyataannya. Hahaha.
***
Sebelum berangkat ke hotel, aku membaca berita dari sebuah surat kabar harian. Dalam headline koran itu tertulis bahwa telah terjadi letusan di Gunug Merapi. Berapa banyak yang mati? Aku tak peduli. Untuk apa memikirkan korban-korban yang telah bergeletakan tanpa nyawa. Apa untungnya menyumbang dana buat mereka yang bahkan aku belum pernah melihatnya. Sangat tidak penting.