Aku tidak mencintai seseorang dan tidak ada seorang pun yang mencintaiku. Aku hidup di antara jutaaan ikatan, namun tiada satu pun yang mau mengikatku. Di antara helaan napas untuk merasakan sedikit jeda dalam kehidupan yang fana, apa yang kalian sebut dekat, erat dan terikat mungkin dalam kehidupanku adalah sunyi, sepi dan sendiri. Mungkin di antara hembusan angin di penghujung musim dingin yang menyisakan sepi, hanya aku sendiri yang tidak mengerti. Hanya aku yang tidak pernah merasakan arti cinta dan persahabatan yang sejati.
Bukankah persahabatan itu lahir dari temu?
Tapi nyatanya temu tidak menjadikan satu. Kita hanya menjadi satu-satu tanpa saling menyatu. Lalu pada hari itu kita tumbuh beriringan tanpa ada rasa berbarengan. Aku di sini dan kau di seberang jalan itu.
Adakah yang mau berbaik hati menjadi sahabatku? Tempatku menaruh kepercayaan dalam segala hal, tempat ku berbagi ketika ruang dalam hati memang tak sanggup lagi mewadahi setiap bahagia dan tangis dalam sehari. Adakah yang bersedia menganggapku sahabat? Tempat kau bercerita tentang segala resah mengenai masalah yang tak kunjung jua menemukan kata sudah. Sahabat, sudikah kau menjadi sahabatku walau sesaat? Supaya apa yang akan kuceritakan ini memang benar-benar ada yang mendengarkan, kamu tidak perlu berucap, cukup dengarkan saja dan buatku merasakan arti persahabatan meski sesaat.
Teman, penggemarku sudah terlalu banyak, aku butuh seseorang yang mau berjalan bersama ketika hidup menendangku ke bawah, bukan mereka yang terus mendukungku untuk terus terbang kala aku sudah berdiri. Aku butuh sahabat.
Aku membutuhkan seseorang yang bisa diajak berbagi dan membagikan kebahagiaan yang penuh tangis sampai kepedihan yang begitu banyak mengundang tawa. Manusia yang tidak hanya hidup seagai manusia, namun sebagai tubuh yang menjelma kepedulian pada diri masing-masing.
Aku berjanji akan berbagi senja denganmu, berterus terang tentang rindu yang dibisikan angin kelabu biru, bercerita mengenai cita dan cinta dalam derita. Hidup yang begitu saja menyalahkanku akan sesuatu yang semu, menyudahiku untuk berjalan sendirian.
Kita senantiasa akan melakoni adegan demi adegan sebagai seorang pasangan yang saling menyempurnakan, karena pada hakikatnya kau ada karenaku dan aku ada karenamu. Meski hanya sebuah candaan, nyatanya itu lebih bermakna mengundang kenangan dibandingkan perbincangan mereka yang bernuansa keserakahan. Kita saling berpegangan menikmati indah dan bengisnya manusia menontoni orang-orang yang tak bisa melesat menggunakan bahan bakar.
Seluruh yang kita lakukan hanyalah sebuah keisengan, namun itulah sebenarnya kehidupan, kita hanya saling timpal-menimpali gurauan lalu saling silang menunggu kematian. Demikianlah rasa yang tumbuh dalam ingatan menggali kembali amarah dan dendam, lalu rasa yang lain melakukan kontradiksi untuk bersabar meratapi keadaan, rela menerima apa yang telah diikrarkan.
Hari berlalu dengan haru dan seru. Membekaslah asa dalam pikiran yang mengendap dalam diam, menakuti seluruh cabang baru yang siap untuk meledak kala kesimpangsiuran menjadi sebuah kebiasaan yang lantas memancing darah untuk segera naik tanpa rasa bersalah. Gulungan kemeja berbunga dengan dasi dan kacamata menggigit kedua telinga lalu membutakan apa yang mesti dilihat, klimis rambut dengan gesper bercorak singa digiring menuju kemewahan yang tak jelas maknanya.
Makan dan segala makanan dalam perut kita hanyalah sebuah isi yang akan kembali kosong ketika waktunya tiba. Seluruh rasa yang kau kecap dengan lidah, pada kenyataannya hanya akan menimbulkan sebuah perlakuan yang sama, namun bedanya adalah bagaimana perlakuan mereka terhadap tubuhmu yang gemetaran.
Begitulah kiranya kau sudi mendengar atau membaca ceritaku yang membosankan ini. Smeoga kau akan tetap bersamaku sahabat, dalam segala hal dan beragam kesulitan aku dan kau satu menyatu bersatu. Itulah kita, sampai semua orang berkata kita adalah kita.