Kita Kah Kau Aku
Kita pernah dekat. Tatapan kita pernah sama-sama sepakat. Bahwa aku kau dan kau aku akan menjadi kita. Milikmu milikku dan milkku milikmu. Mengenai apa yang harus dijaga dan siapa yang harus menderita, tentang di mana dan bagaimana kita harus bercerita, biarkan waktu yang menjawab semuanya.
Aku pernah memilih makna, lalu makan. Memaknai setiap janji yang kita sepakati di atas buaian angin pada lembaran permadani. Kemudian memakani janji-janji yang ditaburi harapan tadi, dengan segenggam cita dan segumpal cinta untuk kemudian menjadi manis karena ulahku sendiri.
Dalam diam rasa kita pernah memerdu lagu, sebuah nyanyian untuk hati yang dihujani kelopak bunga warna-warni. Rasaku dan rasamu sama-sama semu serupa kanvas yang digoresi koas tanpa nada yang selaras. Mungkin mulut kita di bungkam, tapi kita sama-sama tahu bahwa hati tetap berjalan mengendap-endap dalam cahaya rasa yang temaram untuk membuat pipi merah padam. Kemudian daun berguguran di antara helaan napas yang menunggu kesempatan.
Pada sisi ke sisi di sebuah bangku kayu yang dibuat memanjang, kita berdua duduk dengan nyaman. Bunga-bunga meranggas di pekarangan, suara-suara bising di keramaian terbentur dinding asmara, ciptaan semesta untuk kita yang sedang termenung dikurung rasa suka. Di kejauhan alamanda, seorang lelaki memandangmu meminta jawaban, menunggu pembalasan atas nama cinta. Lalu bibirmu mendekat tanpa dahulu memberi isyarat kepada hatiku yang berkarat "Dia menyukaiku, namun aku tidak menyukainya", kalimat terindah sepanjang tujuh belas tahun helaan napasku di bumi yang selalu menyimpan rahasia ini. Lalu dalam detik yang belum berdetak angin dan kesunyian berkompromi membisiki hatiku "Dia menyukaimu" membuat terbang seketika sukmaku bersama luapan romansa yang sedari tadi terdiam di sela-sela bunyi kau aku, mengambang di antara hembusan napas kita.
Pernah pada sebuah pagi di bulan Juni, di bawah payung yang basah terkena rintikan hujan yang sedang tumpah, kita melangkah berdua saja. Kakiku kakimu berjalan senapas, langkah kita senada terus mendekat berhimpit meniadakan jarak. Tangan kita tidak saling menggenggam, namun angan kita saling terkepal, mengikat satu sama lain. Suara sapaan hujan pada genteng rumah, tangis ceria burung-burung manyar pada kubangan sawah, pada setiap irama yang dialiri hujan dari langit lewat payung yang basah dan mengalir menuju selokan-selokan culas tempat melintas perahu-perahu kertas, semakin menyuratkan bahwa kisah asmara kita memang absah.
Namun selalu juga pada rentang yang ku lintasi dalam sunyi, aku dengan hatiku selalu dalam keadaan bersiap untuk memperoleh waktu ketika namamu hanya menjadi sebuah kenangan di masa lalu. Aku dan senyumku selalu siap menyapa setiap kali kau lewat dengan sebuah rona bahagia menempel indah di antara parasmu yang mempesona. Dan aku dengan harapanku selalu bertanya apakah ini cinta atau hanya sekadar cita yang kurangkai sendiri menjadi sebuah istana bermahkotakan bahagia, dengan hiasan lukisan-lukisan yang dibuat dari goresan-goresan ceria.
Karena pada sore itu, kala senja merah ranum berdandan memakai burung-burung yang bebas mengambang di hamparan cakrawala yang menawan perasaan, kita pernah memberikan kesanggupan untuk sama-sama saling membahagiakan. Bersama kita berikat janji untuk saling menemani saat sama-sama ditelan sunyi dan sepi. Dalam hentakan yang serempak kita telah menyetujui bahwa tidak akan ada kata yang dapat memisahkan aku kau meski itu hanya sebuah titik, kutip, maupun koma apalagi dia. Bahkan kita telah berucap dan sama-sama bersepakat bahwa aku kau dan kau aku telah menjadi kita. Hanya kau aku, hanya aku kau, hanya kita, kita, kita, kita, kita, kita.
Kita? maaf, mungkin aku saja.
Billie Wijaya U
Kumpulan Cerita Pendek, Puisi, Ulasan Buku, Keseharian, serta Kenangan akan segala hal yang tak dapat diucapkan. Baca, Rasakan, dan Lihat Kenyataan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Contact Form
Postingan Terlaris
-
Di penghujung jalan yang menjadi pemisah antara kenyataan dan kepercayaan, terdapat sebuah toko yang didiami beragam ras dan agama. Bil...
-
Aku menatap kawanan gagak di pelataran menunggu kesiapan. Mencoba berdamai dengan kenangan. Merapikan kepingan-kepingan aksara kemudian...
-
Judul Buku : Lelaki Harimau Penulis : Eka Kurniawan Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tebal : 194 hlm ISBN : 978-602-03-0749-7 Rat...