Itulah, Saya Juga Bingung!


Setiap lelaki mempunyai janji, menepati atau mengingkari itu masalah jati diri
Berani berdedikasi, untuk sesuatu yang belum pasti
Ia sudah bisa memilih, ya meskipun ini terdengar perih
Namun sekarang ia dibingungkan perasaan, terus berpegangan atau membatalkan karena dari seberang telah merelakan
Seberapa yakin ia pada pilihan, tergantung juga pada orang yang merelakan
Bukankah baik mengikuti alur tulisan, daripada membangkang ujung-ujungnya menjadi penyesalan
Haruskah ia bertanya pada orang, karena pikirannya malam ini sedang tak karuan bergelombang
Memang benar ia telah mengambil keputusan, namun apakah harus dilawan jika memang ini rencana Tuhan
Selalu ada alasan mengapa kita dipertemukan, yang menjadi masalah adalah alasan apa yang dijanjikan
Pertanyaanya adalah, bolehkah kita bertanya tentang mengenainya
Atau kita mesti diam saja berkerut alis, menunggu semuanya mengalir lalu membenturkanmu pada batuan yang terkikis
Habis.

1 komentar:

Menjadi Penata Lampu dalam Sebuah Pementasan

Haiii., sebuah pengalaman baru kembali terjejaki dengan iringan kebanggaan dan kepuasan yang amat sangat membingungkan. Dalam satu sisi saya disuguhkan sebuah pekerjaan yang tidak hanya menuntut kerajinan, ketelitian, dan kehati-hatian namun kesabaran juga meminta bagian.
Memang benar perkataan orang, bahwa apa yang terlihat tidak semudah dari apa yang telah dilakukannya. Kadang kala kita menganggap sesuatu kecil dan tidak berarti sampai kita mengetahui bahwa hal itu bermanfaat sekali.
Proses demi proses telah gua lewati untuk sampai pada fase ini. Pentas Perdana (PENA) anggota muda GSSTF 2017. Sekadar informasi, GSSTF adalah salah satu UKM seni di Universitas Padjadjaran. Meski tidak menggunakan seleksi pada proses penerimaannya, nyatanya sudah ratusan calon anggota gugur dalam proses perubahan status dari calon anggota menjadi anggota muda.
Dalam pentas kali ini, gua ditawari oleh pimpinan produksi sebagai koor divisi tata lampu. Memang ada rasa sedikit malas mendengar tawaran itu, karena rencana gua saat itu adalah menjadi aktor dalam pementasan sastra, namun demi merasakan sebuah sensasi dan pengalaman baru, akhirnya gua terima.
Hari demi hari berlalu, ketika para aktor dan sutradara sibuk latihan setiap malam, gua dan Vina anggota yang gua tarik langsung untuk menjadi partner menata lampu, hanya sibuk kuliah dan sesekali datang untuk menanyakan keinginan pencahayaan pada sutradara. Kami hanya memikirkan konsep, melakukan pendataan terhadap lampu-lampu yang siap atau bagus untuk digunakan, hanya begitu-begitu saja. Bahkan kami baru mencoba mengatur dan memasang lampu pada h-5 acara. Tapi tak apalah, bukankah orang-orang berkata menjadi penata lampu itu mudah.
Tapi nyatanya gua langsung tahu bahwa orang-orang hanya membual. Karena settingan yang akan kami gunakan adalah settingan manual, nyatanya di sini kerajinan ketelitian, kehati-hatian, ketenangan juga kesabaran begitu dibutuhkan. Untuk memastikan sebuah pementasan lancar beberapa daftar yang harus saya checkdan crosscheck adalah sebagai berikut. Jumlah lampu, intensitas lampu, lampu yang masih bisa dipakai dan yang mengkhawatirkan bila dipakai, jumlah corong yang baik, holder yang tidak membahayakan, sambungan kabel, titik jatuhnya cahaya, koordinasi dengan aktor, penempatan lampu agar tidak menghalangi pementasan namun memberikan pencahayaan yang baik, blackspot, panjang pendeknya kabel supaya dimmer dapar diletakkan pada salah satu sisi gedung, kerapihan kabel dan kawan-kawannya.
Supervisior yang ditempatkan para anggota GSSTF untuk membimbing divisi ini sedang sibuk-sibuknya sehingga kami jarang seklai bertemu untuk melakukan konsultasi. Dan syukurlah ada Kang Nandar, anggota GSSTF 2013 yang telah banyak pengalaman dalam memproduksi sebuah pementasan. Dia mengajarkan detail-detail pemasangan lampu, penyambungan kabel, penyetingan sampai penggunaan dimmeryang baik dan benar. Thanks untuk Kang Nandar yang sebenarnya pada PENA kali ini ditempatkan sebagai supervisior divisi sastra.
Dalam prosesnya, kendala yang menghambat hanyalah tidak adanya pengetahuan gua mengenai penataan lampu pada sebuah pementasan. Maka dari itu, meski baru diajarkan pada H-5 acara, tidak ada pilihan lain lagi kecuali cepat mengerti dan beradaptasi. Kendala lainnya adalah Vina balik ke kotanya karena memang pada minggu itu ada sekitar 4 hari bebas untuk beristirahat di rumah.
Vina yang juga minim pengetahuan mengenai lampu hanya diberi waktu belajar pada gladi kotor dan gladi resik, sangat minim bukan? Itulah juga yang akhirnya membuat gua memutuskan untuk harus bisa beradaptasi dan mengerti secara cepat. Setelah melewati gladi kotor dan bersih akhirnya kami sampai juga pada hari H, Rabu, 6 Desember 2017.
Setelah semalam menidurkan diri bersama pikiran yang gelisah akibat kejadian pada gladi bersih yang membuat mood jelek karena settingan kacau gara-gara dibuat rusuh oleh waktu, gua memutuskan untuk datang lebih awal sekitar jam 6 pagi untuk menata dunia perlampuan agar tidak kelabakan dan kejadian kemarin tidak terulang.
Check dan recheck gua lakukan langsung kepada lampu yang gua ajak ke sini bersama kawan-kawannya, meskipun lampu-lampu dan teman-temannya yang gua bawa ke sini sudah melewati seleksi yang cukup ketat nyatanya pada hari ini ada juga lampu yang tidak menyala, beberapa baud yang lepas dari pasangannya dan hal-hal kecil lainnya yang sangat mengganggu dan amat menyita waktu.
Gua naik turun bangku dan meja, gonta ganti pinjem motor orang, bolak-balik sekre, sampe kenceng kendorin baud supaya settingan lampunya ga gampang berubah kalo kesenggol dan lain-lain. Bakar-bakar kabel, guntang-gunting lakban, mati nyalain lampu dan lain-lainnya sampai tak terasa settingan yang dimulai dari jam 6 itu baru selesai sekitar pukul 13 lewat sedikit, sementara kabel-kabel masih berkeliaran dan syukur ada Vina yang telah menjadi partner yang baik meskipun sering gua suruh-suruh, ya terima kasih untuk Vina yang rela gua tarik jadi tukang lampu.
Akhirnya sekitar jam 2 kami melakukan marking bersama aktor-aktor yang beru selesai make up, dan menjadi seorang penata lampu memang harus selalu sabar, karena ketika titik jatuhnya lampu tidak sesuai dengan posisi aktor pada waktu adegan, itu hanya akan menjadi pencahayaan yang sia-sia, gua harus naik turun lagi untuk mengatur posisi jatohnya cahaya agar sesuai dengan apa yang diharapkan. Begitulah kiranya, sampai kurang lebih selesai jam 3 lewat, untuk akhirnya gua dan Vina bisa berisitirahat sebelum open gate dan pentas pertama, yaitu dramatisasi puisi.
Lampu utama mati, ruangan seketika menghitam, gelap, penonton sudah dari satu jam yang lalu memasuki Aula PSBJ (Gedung pementasan kali ini). Hening, tirai belum terbuka, dari seberang tempat gua duduk petikan gitar samar-samar mulai terdengar, tuts piano berdenting merdu, ketukan mulai terdengar syahdu, bass dipetik, pertanda lampu harus masuk, gua putar pelan-pelan tombol dimmer, lampu perlahan menyala, menyorot para pemain musik yang posisinya ada diseberang gua. Dalam sebuah pementasan semua divisi memang harus melakukan koordinasi supaya tercipta sebuah harmonisasi yang serasi. Semuanya harus melakukan timbal balik, musik peka terhadap aktor, aktor peka dengan lampu, lampu pun harus masuk pada irama musik, begitupun sebaliknya.
Meski ada beberapa kali lupa mematikan lampu dan ada beberapa fade in yang masuknya kasar, bisa dibilang debut gua ama Vina cukup mulus pada pementasan kali ini. Ada rasa bangga tersendiri yang muncul ketika saklar utama di dimmer gua matikan yang langsung disambut dengan kemeriahan tepuk tangan penonton. Rasa khawatir, tegang, dan gelisah apabila lampu mati pada saat pentas hilang berganti pikiran ‘ya giliran membereskan’. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa pengalaman kali ini sangat mengsyikan, ada cemas-cemas lucunya, marah-marah manjanya, bahkan sabar-sabar suburnya.
Terima kasih untuk kalian yang telah datang pada pementasan kali ini, juga seluruh anggota muda GSSTF dan untuk yang belom bisa datang mungkin kalian bisa menonton pertunjukkan kami yang selanjutnya, selanjutnya, atau selanjutnya lagi, karena kami tidak akan hanya sampai di sini, masih ada banyak pementasan lain yang akan datang.
Begitulah kiranya menjadi seseorang biasa yang sangat berarti dan bermanfaat bagi orang lain. Tidak perlu menjadi yang terlihat jika tidak diingat, jadilah yang kecil, tidak terlihat besar atau bahkan tidak terlihat namun tanpamu semua hanya akan menjadi gelap. Sampai jumpa pada pementasan berikutnya, GSSTF atas nama cinta.

Pulang



Ke mana lagi kau harus melangkah ketika tak punya lagi tempat untuk singgah. Arah mana lagi yang akan kau tuju ketika lelah telah resah berkeluh kesah.
Bagi kamu yang telah mengendapkan risau jiwa, pulanglah. peluklah kembali tempat di mana harapan dan semangat terus kau biarkan tumbuh beriringan dengan usia kau jatuh. Rangkulah orang-orang yang akan terus kau perjuangkan dan kau bahagiakan dengan kerja kerasmu, menangislah engkau di sana, keluarkanlah segala rindu dan doa yang setiap harinya kau panjatkan tanpa rasa bersalah.
Pulang.
Rumahmu sekarang adalah sebuah peneduhan sebentar, karena bila waktu telah membatu kamu akan tahu mana tempat yang semestinya kau tuju. Kepercayaanmu pada jalanan akan diuji oleh halangan tak berperasaan. Heningmu di malam-malam yang panjang, biarlah ia hilang, ketika rindu memang telah sampai pada tempatnya berpulang.
Apabila yang menetes dari mata lalu merembes melewati pipi-pipimu itu cinta, maka tangisku adalah tentang semua kerinduan pada sang bunda. Pada aroma yang dihidangkan dedaunan bersama gemercik embun yang menetes di pagi yang masih sangat asri. Pada harmoni burung-burung dan serangga sawah yang menyambut mentari dengan permadani menghijau tempat segala penghidupan digantungkan. Pada gunung dan awan yang selalu saja memanjakan pemandangan yang indah pada kedipan mata kala fajar maupun senja tiba.
Pulang adalah kembali, memeluk ingatan dan kenangan kita di masa yang telah berlalu. Ke manapun kau beranjak hidup hanya akan membuat jalan setapak menuju tempat di mana impian dan harapan kau pijak. Hari-hari telah berlalu menyisakan sebaris kata untuk dijemput bersama rindu. Pada sebagian waktu, kita memang tidak ingin melangkah mundur, namun waktu yang lain berbisik bahwa pulang adalah menghargai diri dan masa lalu, menjemput asa dan cita yang kau kubur dahulu.
Mendidik dengan bebatuan yang terjal, hanya menyisakan setitik damai untuk meramal. Berjalan di antara putus dan asa, membuat kita mengerti arti berusaha. Menikmati benci dan cinta adalah sebuah keharusan yang nyata. Sedikit kopi pahit di pagi hari membuat matamu lebih terbuka dalam memandang semesta. Rasa manis hanya akan mengantarkanmu untuk terus menangis karena akhir yang miris.
Pulanglah. Jejakkan kakimu pada tanah yang telah lama kau tinggalkan dalam basah. Hiruplah udara yang begitu menyejukan jiwa, resapilah setiap aroma yang membelai kulitmu dengan cinta. Di sanalah tempatmu harus kembali, segala yang kau mulai dan ada dalam hati. Itulah rumah tempat orang-orang terkasih menunggu, ibumu, ayahmu, nenekmu, kakekmu, kakakmu, adikmu, semua orang-orang tersayangmu. Peluklah mereka yang menyambutmu ketika langkah telah mencapai ujung pintu, dekaplah dengan haru, menangislah sampai tersedu, lalu dengan cerita dan berita yang kau bawa, tataplah, pandangilah mereka, tersenyumlah, lalu bersama mereka, berbahagialah.

Pementasan Teaterikal Puisi 'Doa Merapi' karya Emha Ainun Nadjib

#Prekuel ALOHA 2017
Saat itu bulan hujan, atau lebih akrab kami menyebutnya musim penghujan. Musim di mana langit-langit kota murung lalu didesak menangis terisak ketika mega sudah tak kuasa menahan sesak.
Mengambil latar pada waktu puisi dibuat. Aku hidup sebagai Handarbeni, seorang pengusaha properti yang kelak pada hari esok anak dari anaknya akan menancapkan tentakel kekuasaannya pada bumi yang permai ini. Seorang lelaki perkasa yang tidak pernah memikirkan tentang perempuan dan cinta, seorang pemuda dewasa yang sering diolok untuk dicarikan pendamping oleh pegawainya.
Lawan mainku Puspa (Felisitas Dwhani Wihangga) merupakan pemilik butik terkenal di Jogja. Kami bertemu pada sebuah senja di pelabuhan kecil ketika aku hendak berangkat ke Raja Ampat untuk menikmati hasil kerjaku setahun lalu, dan ingin menjauh dari serangkaian omongan tak masuk akal bahwa seorang pemuda yang baru menginjak usia tigapuluh dua harus segera mempunyai seorang wanita. Berangkat sendiri bergandengan dengan sepi kulihat ia memandang langit jingga yang sebentar lagi gelap. Dan mereka menyebutnya apa? Oiya, senja.
Angin manja yang diam-diam menerbangkan helai-helai rambut, gesekan butir-butir pasir basah yang terhempas ke timur kemudian diseret lagi oleh air yang kembali ke laut, suara deburan ombak yang syahdu melepas rindu yang mengangkasa, kepakan burung-burung di kejauhan langit yang mulai menenggelamkan surya dan membuat dirinya jingga merona, lalu di tengah-tengah itu semua ada seorang wanita tengah berdiri memandang senja.
Rambutnya tergerai, sedikit melewati bahu lalu di tiup-tiup oleh angin pantai yang berhembus ke selatan. Dari jarakku terlihat siluet rok bercorak bunga yang melambai-lambai diterbangkan angin bersama riuh ombak yang terus menderu. Tangannya direntangkan, kemudian digerakkan ke dalam seolah jingga yang mengangkasa di langit itu telah berhasil didekapnya, lalu setelah berada tepat dalam peluknya ia menghirup aroma senja yang saat ini tengah ku nikmati bersamanya. Sebuah senja yang sempurna.
Dalam waktu yang singkat ku kira, atau memang perasaanku yang mempersingkatnya, kita dekat, lekat lalu terikat. Aku sudah lupa bagaimana kemudian kami menjalani liburan yang terlalu murah untuk dibilang sempurna itu. Hari-hari terbaik yang dilewati dalam hidup yang terus memanjang tanpa ujung yang terang. Partikel-partikel cinta bertaburan pada sebuah perjalanan yang tidak diduga bakal menumbuhkan rasa-rasa yang membingungkan. Aku yang telah puluhan tahun hidup dengan kehampaan akhirnya menemukan seseorang yang bisa mengisi sebuah kekosongan. Sebongkah cinta tumbuh melalui pembiaran.
1511345583145
Kami akhirnya melangsungkan pernikahan pada sebuah gedung bundar berlapiskan kaca tebal dengan pelaksanaan pada Selasa legi berdasarkan perhitungan weton dan juga nogo dino. Pernikahan kami tidak terlalu mewah namun tidak bisa dibilang sederhana juga, ya tak apalah kalau kau mau mengatakan mewah, aku tidak akan marah, memang begitu kenyataannya. Hahaha.
***
Sebelum berangkat ke hotel, aku membaca berita dari sebuah surat kabar harian. Dalam headline koran itu tertulis bahwa telah terjadi letusan di Gunug Merapi. Berapa banyak yang mati? Aku tak peduli. Untuk apa memikirkan korban-korban yang telah bergeletakan tanpa nyawa. Apa untungnya menyumbang dana buat mereka yang bahkan aku belum pernah melihatnya. Sangat tidak penting.

Untuk Teman


Aku tidak mencintai seseorang dan tidak ada seorang pun yang mencintaiku. Aku hidup di antara jutaaan ikatan, namun tiada satu pun yang mau mengikatku. Di antara helaan napas untuk merasakan sedikit jeda dalam kehidupan yang fana, apa yang kalian sebut dekat, erat dan terikat mungkin dalam kehidupanku adalah sunyi, sepi dan sendiri. Mungkin di antara hembusan angin di penghujung musim dingin yang menyisakan sepi, hanya aku sendiri yang tidak mengerti. Hanya aku yang tidak pernah merasakan arti cinta dan persahabatan yang sejati.
Bukankah persahabatan itu lahir dari temu?
Tapi nyatanya temu tidak menjadikan satu. Kita hanya menjadi satu-satu tanpa saling menyatu. Lalu pada hari itu kita tumbuh beriringan tanpa ada rasa berbarengan. Aku di sini dan kau di seberang jalan itu.
Adakah yang mau berbaik hati menjadi sahabatku? Tempatku menaruh kepercayaan dalam segala hal, tempat ku berbagi ketika ruang dalam hati memang tak sanggup lagi mewadahi setiap bahagia dan tangis dalam sehari. Adakah yang bersedia menganggapku sahabat? Tempat kau bercerita tentang segala resah mengenai masalah yang tak kunjung jua menemukan kata sudah. Sahabat, sudikah kau menjadi sahabatku walau sesaat? Supaya apa yang akan kuceritakan ini memang benar-benar ada yang mendengarkan, kamu tidak perlu berucap, cukup dengarkan saja dan buatku merasakan arti persahabatan meski sesaat.
Teman, penggemarku sudah terlalu banyak, aku butuh seseorang yang mau berjalan bersama ketika hidup menendangku ke bawah, bukan mereka yang terus mendukungku untuk terus terbang kala aku sudah berdiri. Aku butuh sahabat.
Aku membutuhkan seseorang yang bisa diajak berbagi dan membagikan kebahagiaan yang penuh tangis sampai kepedihan yang begitu banyak mengundang tawa. Manusia yang tidak hanya hidup seagai manusia, namun sebagai tubuh yang menjelma kepedulian pada diri masing-masing.
Aku berjanji akan berbagi senja denganmu, berterus terang tentang rindu yang dibisikan angin kelabu biru, bercerita mengenai cita dan cinta dalam derita. Hidup yang begitu saja menyalahkanku akan sesuatu yang semu, menyudahiku untuk berjalan sendirian.
Kita senantiasa akan melakoni adegan demi adegan sebagai seorang pasangan yang saling menyempurnakan, karena pada hakikatnya kau ada karenaku dan aku ada karenamu. Meski hanya sebuah candaan, nyatanya itu lebih bermakna mengundang kenangan dibandingkan perbincangan mereka yang bernuansa keserakahan. Kita saling berpegangan menikmati indah dan bengisnya manusia menontoni orang-orang yang tak bisa melesat menggunakan bahan bakar.
Seluruh yang kita lakukan hanyalah sebuah keisengan, namun itulah sebenarnya kehidupan, kita hanya saling timpal-menimpali gurauan lalu saling silang menunggu kematian. Demikianlah rasa yang tumbuh dalam ingatan menggali kembali amarah dan dendam, lalu rasa yang lain melakukan kontradiksi untuk bersabar meratapi keadaan, rela menerima apa yang telah diikrarkan.
Hari berlalu dengan haru dan seru. Membekaslah asa dalam pikiran yang mengendap dalam diam, menakuti seluruh cabang baru yang siap untuk meledak kala kesimpangsiuran menjadi sebuah kebiasaan yang lantas memancing darah untuk segera naik tanpa rasa bersalah. Gulungan kemeja berbunga dengan dasi dan kacamata menggigit kedua telinga lalu membutakan apa yang mesti dilihat, klimis rambut dengan gesper bercorak singa digiring menuju kemewahan yang tak jelas maknanya.
Makan dan segala makanan dalam perut kita hanyalah sebuah isi yang akan kembali kosong ketika waktunya tiba. Seluruh rasa yang kau kecap dengan lidah, pada kenyataannya hanya akan menimbulkan sebuah perlakuan yang sama, namun bedanya adalah bagaimana perlakuan mereka terhadap tubuhmu yang gemetaran.
Begitulah kiranya kau sudi mendengar atau membaca ceritaku yang membosankan ini. Smeoga kau akan tetap bersamaku sahabat, dalam segala hal dan beragam kesulitan aku dan kau satu menyatu bersatu. Itulah kita, sampai semua orang berkata kita adalah kita.