Memakan Janji


Semut kecil itu tergeletak
Mengambang mati dalam susu segelas

Adalah Aku



Akulah api, penghangatmu

yang merenggutmu dari kesepian di malam sunyi

Akulah air, penenangmu

yang merampasmu dari dendam-dendam dan amarah yang bisu

Akulah tanah, penopangmu

yang mencabut rasa lelah ketika diri didatangi masalah

Akulah angin, penyejukmu

yang menyingkirkanmu dari angan-angan yang semu

Adalah aku, takdirmu

yang jatuh cinta dengan kesederhanaanmu

Antara Hidup dan Mati


Aku tidak diam,

hanya saja aku tidak bergerak

Aku tidak menangis,

aku hanya tidak tertawa

Kalian tidak putih,

kalian hanya tidak hitam

Sebenarnya, kita tidak hidup

kita hanya tidak mati

Dari Orang yang Tidak Pernah Tergoda Tersenyum

Haha.

Jangan Diganggu, Aku Sedang Pacaran

Sebuah Wisata Cinta Bagian 1


Di pelataran stasiun kota yang ramai di perkosa kesibukan aku duduk menunggu seorang perempuan. Manis senyumnya, cantik rupanya, dialah orang yang mencitaiku dan kucintai balik seperti hidup dan kehidupan yang terus memberi kasih dan kasihan di sepanjang perjalanan. Setelah bosan menikmati penat, bercengkrama dengan sepi, lalu bermesra-mesraan bersama rindu sepanjang hari, tiba juga hari ini. Anganku sudah menembus angin, lalu berbaur serempak bahagia. Dengan rasa yang telah lama tertimbun nestapa, kuserahkan hari ini untuk kita lewati dan nikmati bersama.

Sebuah bis berwarna biru dengan coretan merek sabun colek ternama (Ekonomi) itu berhenti setelah rodanya bergesekan dengan aspal lalu mengeluarkan bunyi  ciitttt  panjangPintunya terbuka, atau lebih tepatnya dibuka, dan terlihat di sana kepulan asap hasil pembakaran cerutu sisa hisapan bibir seorang lelaki yang tangannya terus berpegangan pada kemudi. Tak lama seorang wanita yang mengenakan baju muslim dengan renda pada bagian dadanya dan menenteng sebuah tas berwarna cokelat tua keluar melalui pintu itu. Dialah kamu.

Kiri kanan kiri kanan kiri kanan plak, telapak sepatu bagian kanannya lebih dulu tertancap ke aspal, lebih dulu dari pada yang kiri menyentuh bumi, tapi lebih lambat jika dibandingkan dengan kecupan sukmaku pada jantung yang terus minta sentuhan lebih, saat kamu yang manis terpampang jelas di hadapanku.

Begini versi ku, perawakannya tidak tinggi, rambutnya dibungkus rapi, saat ia tersenyum seketika perputaran dunia berhenti. Hatinya selembut daun talas yang ditaburi tetesan air, bola matanya bulat teratur, kulitnya kuning serupa kulit pisang, terbungkus dalam damai oleh busana muslim yang saat ini ia kenakan,  maka tidak akan ada lagi alasan kenapa kau tidak menyukainya.

Rutinitasku terguncang, guncangan yang amat menyenangkan. Akhirnya setelah lama menimbun rindu, peluknya sampai juga padaku. Saat ini aku tak punya dan tak peduli lagi terhadap waktu, lantas langsung ku sambar tubuhnya ke dalam dekapanku. Tangan kita saling melingkar, membuat benteng untuk sedih, sepi, sendu dan segala kata yang menggambarkan kepiluan. Hati kita didekatkan, napas kita saling beradu, dan dari jarak yang amat dekat ini betapa bau rambutnya tercium oleh hidungku. Seketika detik berhenti berdetak, bumi tak mau berotasi, dan angin enggan untuk bergerak karena di sana, di satu sudut stasiun yang ramai, ada dua orang manusia yang sedang bercinta dalam damai.

Aku tidak ingin berlama-lama di stasiun ini karena sudah sejak lama kurancang sebuah perjalanan indah yang tak mungkin terlupakan olehnya, sebuah wisata cinta.

Lantas langsung kuajak dia pergi, bukan untuk naik motor atau helikopter pribadi melainkan pergi dengan cara yang paling manis, menjemput angkot lalu naik dan duduk di bagian paling belakang  berhadap-hadapan. Di sana ada seorang ibu dengan badan melebihi muatan dengan menenteng tas belanjaan yang barangnya berhamburan keluar karena tak ada lagi ruang untuk mereka berhimpitan. Di sebelah kiri dekat pintu keluar ada seorang pria sedang menutup hidung menggunakan lengannya karena tak kuat lagi menghirup bau yang dikeluarkan oleh sayuran-sayuran basah di sebelahnya.  Sepanjang perjalanan kita saling berbagi tentang cara kita berteman dengan kangen, kita sama-sama menceritakan bagaimana gaya kita menyiasati sepi di antara kemeriahan kesibukan. Kemudian kita sama-sama menertawakan, tersenyum, kita benar-benar bahagia, berdua saja.

Betapa beruntungnya diriku, pikirku. Mempunyai pacar yang amat menyenangkan sepertimu, kasih sayangmu, dan ketulusanmu adalah buah dari kesabaranku menunggu tamu, berkah dari kesetiaanku menggulung rindu.

Setelah sekian lama roda mobil berputar, akhirnya sebuah mantra mujarab menghentikannya, ya setelah ku berkata kiri. Kami turun untuk kemudian masuk lagi ke sebuah restoran, karena rencanaku sudah matang aku tidak ingin cacing perut mengacaukannya. Aku ingin hari ini sempurna.

Dialog yang Hilang



Dan kalian terlalu sibuk memiikirkan tentang apa dan harus bagaimana kalian bergaya seperti seorang manusia. Dan kalian terlalu bingung untuk mengutarakan apa yang ada di kepala agar sealur dengan apa yang seharusnya diperbuat. Hingga semua menjadi bisu, tidak ada lagi dialog untuk orang-orang sepersimpangan. Hingga semua diam, tidak tahu apa yang mesti dilakukan.

Dudukku bersebalahan denganmu, di antara rasa getir dan keresahan orang-orang yang menjalankan kehidupan. Maaf, hari ini selera humorku sedang tidak bagus sampai-sampai aku berani menertawakan kalian dengan kesibukannya tanpa sebab yang jelas. Lalu aku bertanya padamu, mengenai sesuatu yang tabu, sebuah makna dari perjalanan panjang, sebuah pemahaman yang mendalam tentang kehidupan. "Hidup itu apa?" kataku.

Kemudian kau tertawa terbahak-bahak. Anjing! Aku pikir hari ini gilamu sedang tidak kumat, ternyata pikiranku salah, atau sebenarnya diriku yang salah, sial. Tawamu semakin lepas, mengudara bersama ambisi orang-orang yang pikirannya tertimbun materi. Mengangkasa bersama ratusan jiwa-jiwa yang tertenung sihir kemunafikan hati. Kemudian padamu aku mengajukan pertanyaan lagi "Sayang, menurutmu bahagia itu apa?" kataku lagi seraya memberikan senyuman manis untukmu.

Kau melirikku sesaat kemudian tawa kembali meledak dari mulutmu. Bedebah! Selalu seperti ini ya berbincang mengenai makna-makna yang indah denganmu. Seolah-olah semua ocehan yang keluar dari mulutku ini merupakan suatu lelucon yang sering dibawakan pelawak dalam setiap pementasan. Seakan-akan apa yang ku tanyakan dari tadi adalah sebuah candaan yang memang seharusnya ditertawakan.

"Setan. Sebenarnya kau ini seorang manusia yang kucintai, atau hanya bedebah keturunan setan?"

"Hahahaha" Seketika tawamu berhenti lalu melirikku "Sudah ku bilang kau tidak pantas mengajukan pertanyaan seperti itu kepadaku".

"Memangnya kenapa?"

"Untuk memahami arti hidup kau harus mati" lanjutnya "Dalam konteks yang nyata, arti hidup tidak didapatkan dari seberapa banyak kau mencari jawaban. Melainkan kau harus lebih dulu mengunjungi jawaban-jawaban lain lalu berjabat dengan mereka"

"Aku sudah melewati itu. Dan ku beritahu kepadamu, saat kau mendapat jawaban yang terakhir atau dalam hal ini kau dijemput kematian, saat itulah kau akan mendapatkan arti hidup yang semestinya. Karena makna hidup dari manusia itu berbeda-beda tergantung tujuan dan peranannya dalam kehidupan itu sendiri"

Aku hanya menggaruk-garukan kepala, bingung. Tapi aku buru-buru memasang wajah pura-pura mengerti sebelum ia menyumpahiku tolol. Lalu kutanyakan lagi satu pertanyaan yang belum terjawab tadi "Lantas, bahagia itu apa?".

"Tolol. Tidak bisakah langsung kau ambil kesimpulan dari perkataanku tadi!" apakah aku sudah membuat dosa besar? "Sama seperti hidup. Jika kau ingin tahu definisi bahagia, kau harus merasakan sakit.  Bukan hanya sakit, namun sakit yang teramat sakit" Kemudian ia berdiri "Sudah. Aku malas berbincang tentang makna-makna yang tetlalu indah dengan manusia tolol sepertimu" Lantas tidak sampai satu detik ia telah lenyap.

Lah, aku lupa. Dia tidak berdiri tadi, memangnya siapa yang pernah melihat orang mati berdiri. Lagipula, siapa yang pernah berbincang dengan orang mati.  "Hahahaha, siapa juga yang mati?" aku tertawa "Hahahaha, siapa juga yang tertawa?" Dunia ini indah sekali.

"Hahahaha". Sekarang siapa yang gila?