Tenggelam


Pertama aku mengenalnya
kusimpan ia
dalam sebuah botol kaca
yang bening dan tembus kata
Rindu itu
kemudian ditutup
oleh sebuah doa
Ketika resah sudah lelah
maka botol rindu ku lemparkan
ke laut lepas
berharap ada perahu kertas
yang membawanya berlayar dalam sebuah banjir bernas
Jauh, semakin hanyut terbawa rasa
semakin tak terlihat dalam aroma
Ternyata rindu itu tenggelam
di permukaan di gulung
jarak dan keadaan
ke dasar jurang

1 komentar:

Aku Menjadimu


Kata-kataku menjelma
menjadi kata-katamu,
Helaan nafasku berganti
menjadi hembusan nafasmu,
Segala yang tertanam pada akalku
berubah menjadi kamu,
aku menjadimu,
kamu menjadimu,
Tak ada yang bisa lepas
dari ikatanmu,
pun aku.

1 komentar:

Kabut Setelah Hujan


Yang terlihat dari gumpalan kabut adalah bias dan baur yang tak jelas. Yang nampak ketika hujan reda tidak cuma pelangi yang kini hanya ilusi, tidak hanya genangan yang membawa kenangan, tidak pula rindu mengenai aku dan kamu. Yang ada ketika hujan telah letih untuk jatuh adalah kita yang melangkah jauh.

Kita saling tak melihat, dibiaskan embun-embun yang menempel pada tiang, daun, gerbang rumahmu, juga pelupuk mataku. Seperti saat siang yang terang ketika aku berjalan untuk melihat awan. Ada yang samar-samar menerangi namun membutakan, sinar yang seolah menjadi penerang namun nyatanya hanya sebagai penghalang, mengaburkan pertemuan awan yang putih dengan yang putih serupa: mata. Kabut setelah hujan merupakan sebuah tanda tanya besar dibalik kemunculannya secara diam-diam dan tak terlalu menarik perhatian.

Kabut setelah hujan adalah kita. Dipisahkan oleh gerimis selangkah demi selangkah, genang mengubur kenang, lalu angin membawa rindu menjauh pada hari yang entah kapan jatuh. Kita yang nanti adalah sisa-sisa hujan yang tak bisa lagi menjadi awan, mengembara tanpa tujuan, mengikuti setiap gerik-gerak tanpa perasaan.

Kabut setelah hujan itu nyata. Baur dan bias yang dihasilkannya cukup kuat untuk sekadar membuat kita buta, menjadikan kita lupa bahwa dalam genang ada kenangan yang menggemaskan. Rindu telah tiba di ujung waktu, napasnya seru, katanya jarak telah bosan menunggu.

Seperti ketika awan menjadi lebih hitam dari hitam, bunga lebih wangi dari harum, dan daun meranggas di tepi jurang. Kabut setelah hujan adalah ia yang membawa kita pada sebuah ujung yang buram, suram dan kelam, seorang seniman kabut bahkan pernah mengatakan bahwasannya ada sebuah rahasia dalam kabut yang tak akan pernah kita pahami. Maka pesanku kepadamu yang suka hujan, segeralah pulang setelah tetes terakhir air langit itu jatuh agar kabut tidak menguasai matamu, sedang hatimu menjadi tulus dihinggapi embun-embun yang kedinginan.


Di Sepertiga Jalan ke Sorga


Di sepertiga jalan ke sorga, ada orang-orang gila yang memainkan seruling di atas meja bundar bersama gerombolan musang belang. Pada belokan ke delapan sepasang kembang sedang menyetubuhi setangkai mawar merah muda di pematang. Yang beraromakan sorga belum terasa pada sepertiga jalan ini, hanya bau-bau amis darah, kotoran burung yang hinggap di kepala, serta jeritan hewan-hewan bisu di dekat telinga yang menabrak kaca jendela.

Buku dipisahkan dari kata-kata, ranjang menjauh dari tidur, yang terlelap menimbulkan bunyi-bunyi senyap. Seuntai jari-jemari meraba-raba pohon mangga, aromanis mengangkasa bersama bintang kecil. Doa-doa dilemparkan dari balik bilik, amin dan iman main aman, di belokan selanjutnya ada malaikat cantik yang sedang melaksanakan puasa puisi.

Hari ketiga, seorang pemuda main mata dengan sebotol kenangan, ibu-ibu bernyanyi di sepanjang jalan kenangan, yang tua-muda saling sikut menahan sakit. Mantra-mantra dirapalkan dari langit, kuping-kuping sakit, bibir tak kuasa lagi menahan tangis, yang patah tumbuh yang hilang dibuang.

Allahuakbar. Gendang ditalu, gemuruh langit tidak bisa ditenangkan, awan hitam mencekam, tak ada aku, tak ada kamu, kita, kalian, mereka, semuanya tiba-tiba musnah ditelan catatan kehidupan. Petir memecut angin, angin berputar-putar merobohkan segala tiang, membelokan semua tatanan kehidupan. Jangan bergeming, tak ada yang bisa lari, tak ada yang mampu berdiri, semua tiarap, mencoba menahan duka meski belum siap.

Katakan kapan! Seseorang berbaju pelangi dari arah langit turun berafaskan sebuah pesawat sederhana. Kami tak tahu, Dia yang mahatahu. Kami belum siap, namun entah kapan kami tak tahu, hanya Dia yang mahatahu. Dua orang lagi datang dari arah berlawanan, memakai baju berlawanan, mengenakan topeng berlawanan, hitam-putih, hitam di atas putih.

Di sepertiga jalan ke sorga, orang-orang yang belum siap, dihancurleburkan oleh salah seorang hitam bersama kenangan, orang-orang yang mengaku siap dibawa pada padang yang luas, lebih luas dari apa yang bisa mereka bayangkan, dan yang benar-benar siap dibawanya oleh si putih pada sebuah gerbang merah ranum, dengan cahaya keemasan, suara-suara yang menyejukan, apa yang mereka lihat adalah sebuah kenyataan dan kehangatan.

Di sepertiga jalan ke sorga, ada yang tersesat di belokan, adapula yang berbelok dan menyesatkan. Apa-apa yang dilakukan dibebaskan, diserahkan semaunya, seperti ketika di pertigaan jalan, kalian bebas ke kiri ataupun ke kanan, asalkan jelas mempunyai tujuan.
.

Semacam Pengkhianatan



Tanpa ada rasa bersalah, aku kira jiwaku sudah hancur menjadi kepingan-kepingan kabar yang tak kau pedulikan, pada bongkahan-bongkahan kayu yang dijilati rayap mungil. Aku meleburkan diri dalam air dingin, termometer, dan segala yang tak dapat terukur oleh nomor-nomor genap.

Aku telah siap menjadi satu-satunya bunga kesepian yang tersisa, menghitung detik demi detik, memetik kelopak sendiri yang gugur saat sepi. Mengenang rindu ketika merontokkan diri, pada kelopak-kelopak dan duri halus yang dihempaskan doa tak berwujud, membawanya pada sebuah lembah sunyi tempat Rahwana membunuh cintanya sendiri.

Aku telah lunas untuk menjadi awan terakhir di langit biru, menyampaikan kasih lewat tetes-tetes cinta yang pedih, tanah basah mengalirkannya ke muara, ikan-ikan kecil berenang di sana, di antara gemericik dan siulan bunga kamboja, di sekitaran arus yang halus nan mesra, laut menjadikannya kembali biru, meski tak setulus ketika lahir baru, ia bertemu angin yang membawanya kembali pada awan yang lain.

Aku yang sekarang adalah sebuah cermin yang retak dari dalam dan di sudut-sudut yang kecil. Membalikkan kenyataan dan menyulapnya menjadi kabar yang menyenangkan. Mengkhianati hati dan memberi senyum pada maut yang membawamu pergi.

Lilin dan kabar memberi sinar meski mungil. Api kecil menghangatkan tubuh yang sepi, dan hiruplah debu-debu yang jatuh di penjuru hati. Adalah kita yang semakin membenamkan mimpi, adalah kita yang terlalu sibuk dengan urusan  nurani. Adalah kita yang gugur dan mati kemudian hidup lagi untuk diri sendiri.

1 komentar:

Pada Malam Ketika Aku Mencintaimu


Pada malam ketika aku mencintaimu,
Meledaklah  bintang-bintang yang bergaya di kegelapan
Senja kucat menjadi biru
Laut yang kelam, kuseruput dengan penuh rindu

Cahaya bulan padam sebentar
sinarnya tenggelam oleh tatapanmu yang dalam
Malam bertambah malam
Asal malam ini aku
bisa dengan tenang mencintaimu
Itu sudah cukup bagiku

Bila Sepuluh Menit Lagi Aku Mati


Bila sepuluh menit lagi aku mati, aku ingin dilahirkan kembali sebagai bunga satu-satunya yang tersisa di antara ribuan tanda tanya. Biar sendiri, biar kesepian, aku tidak akan membebani orang-orang baik, orang-orang yang penuh kepedulian dan rasa tanggung jawab, aku tidak akan pernah merepotkan manusia-manusia sibuk, menanyainya kabar, atau sekadar menyuruh mereka datang untuk berbincang. Bila aku dilahirkan menjadi satu-satunya bunga yang tersisa dan kesepian, aku bisa iseng sendiri merontokkan kelopakku, mematahkan sendiri tangkai dan duri-duri yang menghiasi tubuhku, dan layu sendiri semauku.

Bila sepuluh menit yang akan datang aku tak mati, biarkan aku mengusili kesepianku, jangan terlalu peduli terhadapku, tak usahlah berbasa-basi menanyaiku kabar, karena aku tidak pernah rela membiarkan bahasa menjadi basi bila sekadar dipakai untuk berbasa-basi. Tirulah angin yang mengendap di luar kaca jendela, angin yang menggugurkan daun di halaman rumah merupakan mereka yang paham arti menghargai diri dan kesedihan orang lain. Terkadang, merekalah yang ingin kujumpai ketika mati sudah di penghujung hari.

Tak ada arti, tak punya harga diri. Sudah penuh seluruh, telah hilang yang terbilang, yang esa adalah ia yang bisa menyatukan seluruh asa. Terkadang kesedihan yang mendalam tidak dilakukan oleh luka, namun dari hati yang berbahagia tapi bibir tak bisa bersuara karena tak ada siapa-siapa di antara kebahagiannya. Pengalaman terpahit bukan ketika kau merasa sudah terlalu banyak terbebani luka. Namun ketika segala usaha yang kau lakukan telah lunas dibayar kebahagian, tetapi tak ada seorang pun yang bisa duduk bersama sore untuk mendengarkan cerita-cerita bahagiamu.

Lima menit yang lalu, ketika cermin menghadap ke arahku, ada seseorang yang tengah berdiri dan dari sorot matanya terpancar rasa iba entah terhadap siapa, dia yang berhadapan denganku sepertinya sama kesepiannya, tidak ada apa-apa di belakangnya, jeritan sunyi dan senyap berkeliling di sekitarnya, pada apa yang tertulis adalah kata-kata yang melewat begitu saja, bahkan hanya sekadar bayang-bayang pun tak mau menampakkan dirinya.

Bila sepuluh menit dalam arti yang akan terlewati aku mati, aku mati dan membawa hati yang tak bisa disakiti. Dan untuk menjadi bunga dalam reinkarnasi setidaknya membutuhkan seorang gadis pemetik bunga yang ia akan berbahagia karena kata-kata.