Terlanjur Sukabumi
Maaf, sekali lagi maaf. Aku hanya tidak ingin disebut lupa rumah dan jalan pulang. Jika memang kalian menghendaki aku untuk jadi seorang cendekiawan, jangan hapus ingatanku tentang rumah dan segala cerita masa kecil di sana. Ada dua perempuan yang kutinggalkan dengan cinta, meski yang satu sudah pergi dan tak menyisakan sedikit lagi rasa, yang satunya tetap bertahan menanyaiku kabar dan tak pernah bosan memberiku ucapan selamat sayang.
Ada yang bertanya mengapa tidak kupilih salah satu di antara mereka yang mau menjadi pasanganku. Yang menjadi masalah kini adalah aku sendiri merasa masih harus memantaskan diri, meski terdengar sok suci dan terkesan hanya mencari alibi, tapi pilihanku untuk kali ini adalah sebuah pernyataan hasil bercermin pada laut warna-warni. Gelas dibiarkan tak berisi meski puluhan botol whisky menjajakan diri, bunga kubiarkan layu walau kupu-kupu sudah rindukan madu.
Aku sudah terlanjur Sukabumi, bila adik berharap menjadi yang pertama kusukai, maka maaf harapan adik hanya sebatas asa yang tak akan pernah menjadi realita. Sebuah perwujudan dari apa yang kita sebut sebagai sebuah balas budi. Bukan. Bukan di situ titik pokoknya, ada sesuatu yang mesti dimaknai dan diartikan lurus tanpa pembelokan berkali-kali. Rasa rindu yang kusimpan pada tanah yang telah menumbuhkan berpuluh-puluh kenangan pahit, sakit dan benci, harus kutimbun dengan dedikasi yang mungkin tidak akan ada yang mau peduli. Lalu, kubalas ketidakpedulian mereka dengan peduli amat, dan amat di sini tidak sama dengan sangat. Pikirkan sampai berkeringat.
Jika adik suka kepadaku maka sudah seharusnya kamu juga menyukai bumiku. Masa kecilku, segala kisah dan kenangan yang tertinggal jauh dalam jarak namun dekat dalam dekap. Keluarga kecilku, dan istanaku yang sudah hampir rubuh diserang oleh berita miring tentangku dan ketidakpahaman akal mereka. Jejak-jejak yang kutinggalkan pada malam ketika aku pergi dari kekacauan yang melanda pikiran orang-orang di sana mungkin masih ada, namun tentu masih tercium juga bau-bau busuk saat aku berjalan perlahan di keramaian dan gelap meneriakiku tanpa belas kasihan.
Karena aku lahir di sini, di kota seribu cerita ini, di mana masa remajaku dihabiskan oleh cinta dan rasa pahit, oleh ejekan dan injakan di sana-sini, oleh semua kisah-kasih yang tak terlupakan hingga kini. Cerita-cerita dan jeritan masa kecil karena jatuh, ejekan yang terngiang-ngiang penuh seluruh, semua terangkum dalam ingatan sakit yang sungguh.
Karena aku terlajur Sukabumi, aku akan mencintainya sepenuh hati. Meski yang mendiami tidak lagi menyukai bumi, aku akan tetap berdiri di sini. Semangatku takkan pernah hilang, romansaku terus terbakar dan takkan padam. Karena kuSukabumi dan ini Sukabumiku, maka tak ada yang bisa menggetarkan gelora hidupku.
Si Tampan
Kumpulan Cerita Pendek, Puisi, Ulasan Buku, Keseharian, serta Kenangan akan segala hal yang tak dapat diucapkan. Baca, Rasakan, dan Lihat Kenyataan.
Related Posts
Subscribe to:
Post Comments (Atom)