Dia membuka sebuah benda kotak yang bisa ditulisi, dibacanya aksara yang tertera di sana yang selalu mengingatkannya pada masa yang telah lama berlalu. Dari matanya yang bulat mengalir air, membasahi lembar demi lembar, menenggelamkan huruf demi huruf yang menyatu pada benda kecil yang kini ditutupnya itu.
Raganya terduduk lesu setelahnya, namun hati dan pikirannya di bawa berlari menuju suatu masa yang bahagia, sebuah kisah klasik yang dapat menguras air yang telah lama terkunci rapat dalam mata indahnya. Orang-orang menamainya masa lalu, seperti waktu yang telah berlalu dan untuk mengembaikannya hanyalah sebuah asa yang semu, dan ia tak pernah setuju dengan sebutan itu. Ia lebih suka menyebutnya kenangan, karena kapan dan dimana pun ketika mengingatnya akan terasa kehangatan. Kelucuannya, kebahagiannya, dan waktunya adalah sebuah fenomena yang tidak semu, meski benar semuanya telah berlalu.
Kesepian adalah kerabatnya, kesunyian merupakan teman dekatnya. Maka di kala orang-orang asik dengan keramaian dan kegaduhan, hatinya hanya berbisik terusik. Lalu tenggelamlah ia di antara kemeriahan pesta yang melimpah ruah, menyelam, kemudian hilang dari lingkaran.
Percuma bercerita pada orang-orang yang tidak pernah paham arti kenangan. Dia yang kalian sangka berbeda memang berbeda dalam arti yang amat jelas, ia tidak sama dengan kalian yang bisa mengganti rasa sakit dengan tersenyum sementara. Ia jauh berbeda dalam definisi yang teramat sungguh untuk mengartikan bahwa kesenduan bisa dipermainkan, bahwa kenangan bisa disepelekan.
Sejenak pria itu berpikir matang, menanyakan apakah orang-orang di sini memang ada karena ditakdirkan untuknya atau memang ada karena diada-adakan olehnya sendiri. Kini ia bimbang harus memilih lebih intim dengan mereka atau hanya perlu dekat tanpa ikatan yang lekat. Ia diam. kemudian di situlah kalian melihat satu adegan yang lantas langsung saja mengambil keputusan seolah semua halaman telah usai kalian lafazkan, memang begitulah kalian. Mengambil kesimpulan dari satu kalimat yang diutarakan.