Pada Sebuah Senja


            Ada kalanya kita menginginkan suatu hari berakhir lebih cepat dari biasanya. Entah karena hari yang kita jalani itu buruk, entah karena ada suatu momen yang spesial esok, semua orang mempunyai alasan sendiri ketika ia mengharapkan waktu berlari pada suatu hari. Seperti juga aku yang ingin cepat membereskan siang ini demi sebuah keajaiban petang yang tak bosan menyajikan pemandangan untuk memanjakan mata yang selalu haus keindahan.

Petang itu aku duduk seorang diri di sisi pantai, di area sakral, tempat yang membaurkan perairan dan daratan. Bersama nyiur menantikan senja yang ranum dengan langit kemerah-merahan dan sedikit cipratan ungu di beberapa tempat, dan bias cahaya keemasan, dan kepak burung-burung, dan siluet perahu di kejauhan, pasir yang menghangatkan, dan gulungan ombak yang menghanyutkan, dan keheningan sore yang menentramkan. Semuanya bersatu padu demi memanjakan penat dan rindu, lalu semesta menyajikannya lewat maha karya yang indah luar biasa. Senja yang sempurna.

Senja hari ini pasti baru dan tentu saja akan berbeda dari senja yang kemarin, atau senja kemarinnya lagi, atau senja pada waktu dulu, atau senja-senja yang telah lalu, semua senja memiliki kekhasannya sendiri dalam meramu langit dan mentari menjadi sebuah peristiwa yang luar biasa ditunggu kedatangannya, yang sangat dirindukan kehadirannya.
            
Sebagaimana seperti senja-senja yang kemarin menghilang, tujuh belas lebih empat lima merupakan waktu paling ajaib dan terbaik untuk melihat senja, bukan pukul 18.00 atau 17.30. Saat itu senja benar-benar menakjubkan, sementara angkasa menyisakan sedikit petang dan malam sudah mengabarkan kegelapan.

Hari itu langit sedang cerah, tidak ada tanda hujan bakal turun untuk melenyapkan senja yang selalu dinanti. Orang-orang sudah mulai mengemas diri, tidak ada lagi yang sekadar berenang atau mendekati air karena penjaga pantai sudah memberi peringatan tanda air laut telah pasang dan mulai membahayakan. Anak-anak tanggung sedang bermain dengan bolanya, dan tidak jauh dari sana ada beberapa pasangan muda-mudi tengah bersantai, saling dekap dan tertawa bersama, sepertinya mereka juga tengah menuggu senja. Lalu senja itu tiba.

Senja yang lembut itu datang dengan langit kemerah-merahan diselingi sedikit cipratan jingga dan violet, awan-awan yang tadinya putih kini terkena semburat cahaya keemasan, matahari yang mulai tenggelam di balik cakrawala menimbukan suasana sore yang sedikit gelap. Warna-warna itu saling membaur, tumpang-tindih, bergradasi dengan indah, membagi-bagi posisi dengan porsi yang amat pas, maka tak heran bila kemarin sore ada seorang pemuda yang berani memotong keindahannya untuk diberikan pada pacarnya.
           
 Angin dari laut bertiup perlahan menggoyangkan dedaunan, membuat daun pohon nyiur yang membelok dengan tegak itu melambai-lambai, hingga sayup-sayup terdengar suara dari angin yang bergesek dengan dedaunan, iramanya minor nan merdu, seperti ayunan bow –busur biola- Idris ketika membawakan lagu melankolis, betapa sungguh membuat hati tenang dan jiwa terasa tentram.
           
Debur ombak menggulung udara, lalu menghempas dengan buih-buih kecil yang bening. Tidak trerhitung berapa banyak ombak yang telah menggulung dan buih-buih bening yang menghempas pada setiap menitnya. Kepak burung-burung saling bersahutan dengan suara hantaman ombak pada karang.

Butir-butir pasir menggelinding terseret sisa gelombang yang sampai ke permukaan. Sementara pasir yang menimbun sebagian kakiku tetap saja hangat, dan udara senantiasa dingin dan basah. Rasanya, dingin memang selalu ingin bergabung ketika kita sendiri.

Ketika langit mulai menggelapkan warnanya, Angin dari daratan mulai berhembus kencang, dan suara debur ombak yang keras menghantam karang mulai terdengar jelas. Sepi sebentar lagi sampai pada tepi bumi.

Nelayan mulai membuka ikatan tali yang menahan perahunya, alam perlahan namun pasti membaur dengan gelap. Angin bertambah basah dan dingin. Buih-buih ombak yang terhempas juga mulai tidak terlihat. Lampu merkusuar sudah dinyalakan, pun lampu-lampu di penginapan.

Sementara di kejauhan, siluet perahu yang tadi tampak jauh kini mulai mendekat, laut menjadi gelap, dan matahari telah tenggelam sepenuhnya ke balik cakrawala, kepak burung-burung tak lagi terdengar, dan pasir tidak sehangat petang, dan karang meski terus dihantam ombak, tetap saja kokoh tak terelakan.


Kini senja itu menghilang lagi, atau mungkin ia pergi ke sisi bumi yang lain untuk mengobati rindu orang yang sama sepertiku. Tapi, esok adalah baru. Senja itu akan datang lagi esok, atau esoknya lagi. Dan senja esok hari tentu akan berbeda dengan senja hari ini, karena esok aku akan mengajak kekasihku ke sini. Menikmati sajian terindah dari Tuhan lewat alam, sebuah keajaiban yang diberi nama: Senja.

Kumpulan Cerita Pendek, Puisi, Ulasan Buku, Keseharian, serta Kenangan akan segala hal yang tak dapat diucapkan. Baca, Rasakan, dan Lihat Kenyataan.

3 komentar