Kepada Bunga di Tepi Jalan


Kepada bunga di tepi jalan yang merindukan hujan. Kepada para taman yang menyediakan janji-janji manis yang membingungkan. Kumbang-kumbang yang terbang dengan ingin dan angan. Untukmu bungaku yang tertiup oleh suara-suara menyedihkan, menuhankan segala apa yang ada di hadapan. Untukmu kawanku yang berbelok di persimpangan jalan.

Harummu mewangi sepanjang zaman, aroma surgawi dari seni yang tak bernilai nominal. Gugur-gugur bungaku, mati-hidup-mati kemerdekaanku. Tanah-tanah kering yang ditanami rumah-rumah miring, sawah-sawah tandus, padi-kapas kusut tempat para petani bersungut-sungut. Inilah negeriku yang bahkan orang yang mendiaminya pun tak aku tahu.

Bau-bau bangkai di sepanjang jalan kenangan, di sekitaran bundaran yang tak berbentuk bundar, di sana ada orang mati berdiri, ditikam utang dan kunang-kunang. Orang-orang mabuk di sekolahan, cendekiawan tidur di ranjang orang, segalanya telah mempunyai tempat nyata yang bahkan jelas bukan tempatnya. Ada awan hitam artinya hujan, ada mawar hitam artinya kehancuran.

Mawar hitam berdarah, tinta hitam terlalu murah, kita sudah hitam dan mulai gerah. Ada kalanya bunga-bunga mekar nan indah, namun keindahannya terlalu menarik perhatian, sehingga dalam sekejap ia telah rata kembali dengan tanah. Hidupnya orang  mati lebih pantas dihadiahi doa, daripada orang yang hidup dan menghidupi diri sendiri. 

Hidup semi mati, tak hidup namun enggan dikata mati. Tak mati, tapi kehidupan dan jiwanya mati. Kita menertawakan kesedihan, mempertanyakan jawaban, menulis nalar, memanusiakan orang, menyalakan gelap di waktu terang. Hina, dekat dengan zina. Sabar pun tak bisa dijauhkan dari subur. 

Seumpama bunga, kita adalah yang subur dan tak mati-mati ditikam utang dan kenangan.


Kumpulan Cerita Pendek, Puisi, Ulasan Buku, Keseharian, serta Kenangan akan segala hal yang tak dapat diucapkan. Baca, Rasakan, dan Lihat Kenyataan.