Malam Ini Kugigit Bulan
Malam Ini Kugigit Bulan
Malam ini kugigit bulan. Keindahannya kukunyah lalu kuucapkan. Langit hitam kelam. Hati muram suram. Durjana pada kegelapan diizinkan, asal kau mau bersenang-senang dalam keremangan.
Tidak ada mentari malam ini. Jalanan lengang tanpa nyawa berseliweran mencari ketenaran, hidupku tak ada bosan dihabiskan dengan sendirian, sepi, dan bunyi-bunyi hembusan Tuhan pada tengah malam. Di atas atap aku menatap, mengamati gerak-gerik langit yang kian hari menghitam terpanggang cahaya matahari, kegelapan ini sungguh sunyi Tuhan, tak maukah kau kirimkan padaku seorang saja perempuan.
Aku tak butu cinta, seseorang saja yang bisa ku kawini segera. Tak pernah ada hidup di kehidupan, hari-hari berlalu tanpa pamitan. bulan-bulan menyisakan bulan yang habis kugigit tadi malam. Iya tadi malam ketika ku termenung dalam kehitaman yang menghisap segala dosa dan kesendirian, udara hanya imajinasi dari harapan yang bermimpi.
Bila esok kau temukan roh ku memandang langit. Bisiki ia bahwa pelabuhan itu telah disinggahi kapal besar yang membawa berkilo-kilo kekayaan.
Anehnya, sampai sekarang aku merindukan apa yang bahkan tak pernah kumiliki sebelumnya.
Ziarah Rindu
Ziarah Rindu
"Apa sebutanmu untuk rindu yang telah mati lalu tumbuh kembali?"
"Aku menyebutnya ziarah."
"Ziarah?"
"Iya. Ziarah rindu."
"Aku menyebutnya ziarah."
"Ziarah?"
"Iya. Ziarah rindu."
Entah kenapa, tak ada yang berbeda dari sejak pertama kita bertatap penuh duga. Tak ada yang tahu mengapa semuanya tetap sama, bahkan bekas luka yang tertanam dalam di hati pun tak berubah, masih tetap membekas dalam dengan duri-duri yang menusuk tajam.
Tak ada yang tahu sampai kapan pengobatan bisu ini diselesaikan, mungkin sampai kita sama-sama menemukan pasangan, tentu saja kita, bukan kau saja. Karena semenjak hari suram itu kesepian kembali meyapaku lewat pohon-pohon yang meranggas membuang kenangan-kenangan indah yang terlewat begitu saja.
Kini tak ada lagi sisa cinta ku yang seutuhnya, setengahnya telah ku berikan di awal perjumpaan dibarengi dengan kata-kata yang teramat mewakili perasaan. Sementara setengah lagi kau ambil diam-diam hari demi hari, hingga tak bersisa kemudian kau buang karena tak ada lagi yang bisa ku berikan, katamu. Padahal dirimu sendiri yang mengambilnya perlahan-lahan, aku curiga itu hanya alasan saat kau sudah bosan.
Setidaknya aku telah berusaha menggali pusara untuk memakamkan kenangan dan keheningan bersamamu di hari-hari lalu. Meski tak seutuhya terkubur dalam tenang, hatiku telah berikrar bahwa akan mendatangi pusara ini di saat-saat aku telah bangkit dari penyesalan. Itulah alasan mengapa kini aku datang ke tempat ini untuk menemuimu, untuk menjemput kenangan yang telah ku rapikan. Tempat ini masih sama, rasanya, baunya, serta suara-suara merdu yang mengiringinya. Yang berbeda hanya rasaku, bau tubuhmu, serta alasan yang membawa kita ke tempat yang menyedihkan ini.
Kemudian kau berkata, "Apa kamu rindu kepada ku?"
Ku jawab dengan senyuman "Rinduku telah mati," Kataku, "Di sini!" Kemudian ku berlalu.
Sore yang Telat Tertutup Awan : Saat Senja Berkenalan Dengan Ku
Sore yang Telat Tertutup Awan : Saat Senja Berkenalan Dengan Ku
Mendung tiba-tiba menangis, setelah tak kuasa menahan iris ia menumpahkan segala gelisah yang mengiris. Kamu tiba-tiba mematung, diam tak bersuara, setelah semua rasa kita cicipi, kamu tiba-tiba pergi, tanpa sepatah kata, lalu berjalan membekas luka.
Itu ketika sore saat senja belum mengenalkan diri padaku.
Setelah mendung lelah menangis, langit memanggil awan penghibur untuk mengusir secara santun mendung yang tak tahu diuntung. Sialnya, setelah ia berhenti sesenggukan, tak ada lagi nona rintik yang menemani tetes air mataku, pun tuan gerimis yang pergi menemaninya dan tak bisa lagi menyamarkan suara tangisku, sehingga di situlah aku sendiri tersedu di antara sore yang biru.
Kembali secara tak terduga seorang anak bernama angin berbisik pada kulit di tengah kesenduan, di antara jejak kaki mu yang kini tak terdengar lagi karena telah berjalan jauh, "Sebentar lagi sang senja akan mengenalkan diri padamu." Kemudian ia berhembus karena tengah bermain dengan angan.
Lantas setelah beberapa saat dari kepergian angan mengejar angin, pasir basah tercium baunya di tengah-tengah kebusukan kota. Nyiur daun kelapa terasa hangatnya dalam suasana kekikukan, suara-suara merdu gelombang bercampur arus terdengar tenang dibandingkan janji-janji kosong penguasa. Kemudian jingga berkelebat membawa kabar, "Sang senja telah datang. Siap atau tidak, ia akan menghisap kehidupanmu."
Begitulah kiranya ia muncul dengan pengawalnya yaitu mentari merah ranum yang anggun dan langit kuning jingga yang indah betapa sangat mempesona dan menyihir perhatian manusia, tak terkecuali aku. Seketika atap gedung dengan aroma membosankan yang ku duduki itu berganti rupa menjadi suasana pantai, sedang langit menyemburatkan mega jingga lalu laut dan gelombang bercermin pada kasih sayangnya.
"Akulah senja, teman yang kau harapkan ketika tak ada lagi yang bisa kau percaya, tempat yang kau butuhkan saat semesta tak mampu bercerita, iman yang kau perlukan kala kau kehausan lalu secara buta berjalan ke depan dengan mata tertutup. Di sinilah aku, menemanimu yang kesusahan ditinggal pacar, membawakanmu sekelebat kabar bahwa hidup akan terus berlanjut dalam kondisi apapun engkau." Katanya sambil tersenyum ke arahku.
"Lalu mengapa orang-orang hidup dalam rantai kemiskinan?" Kataku "Sedang yang lain mati dengan rasa yang miskin?"
"Karena hidup adalah perjuangan dan rasa adalah sesuatu bernyawa yang mesti diperjuangkan, karena miskin adalah sebutan orang yang tak bisa berbahagia dan rasa yang miskin adalah mereka yang seumur hidupnya tak pernah merasa puas, tak pernah mengecap cukup walau sesaat."
Tiba-tiba tuan jingga dan mentari pergi, dan senja disapu langit hitam yang sedih, awan-awan mengikutinya di belakang. Jingga diganti hitam, mentari tenggelam bulan mengambang, hingga mataku tak bosannya mengingat tentang pertemuan sore dengan senja, mendung kembali datang.
Dengan rintik dan gerimis yang kembali menjadi teman, hatiku berkata hati-hati.
Aku ingin menghabisimu sepeninggalan senja, ketika biru dan jingga ditelan indahnya kegelapan hitam, agar peristiwa kemarin sore meranggas dalam ingatan. Dan. Aku ingin menyayatmu sepenghabisan malam. Ketika aroma udara meniduri dingin ingin, supaya apayang tersimpan kata bisa dilenyapkan suasana kota.
Kemudian kali ini angan datang menghampiriku tanpa angin, lalu berbisik dalam hatiku "Angin iri padaku karenamu." Katanya lalu mengendap dalam nadiku.
Memo Untuk Mama
Memo Untuk Mama
Sehabis obrolan singkat di telpon tadi, air mataku tak bisa lagi disuruh diam, ia malah membuncah tak berkesudahan diiringi bunyi ngiik ngiik yang sangat fals untuk didengar. Terlalu banyak peristiwa yang terekam dalam kata, sudah banyak cerita yang dilalui oleh suara, maka ketika suara dan kata itu tertuju pada seseorang yang amat istimewa bagimu, mama, maka semua peristiwa dan cerita itu berhamburan dalam pikiran, lalu menyentuh hati dan rasa yang menghasilkan jejak basah pada pipi yang merah.
Satu tetes jatuh untuk cerita ketika kita bersama tidur dalam satu ranjang dengan seorang lelakimu yang ku panggil bapa, entah telah berapa lama ia meninggalkan kita berdua dalam ketakutan yang menjelma kehangatan ketika fajar tiba.
Tetesan yang lain mencair untuk peristiwa-peristiwa sakral yang telah kita lalui bersama, seperti ketika kau yang berbahagia setelah selesai rapat orang tua dan kau pulang membawa berbagai piala yang disertai amplop tentunya. Betapa kau banggakan hasil belajarku itu pada saudara-saudaramu meski beberapa hari setelah itu kau marahi aku lagi karena tak sengaja salah menuangkan kuah kolak ke nasi dan gorengan yang seharusnya disiram oleh bumbu kacang. Ya tak apalah.
Atau ketika kita bertamasya berdua menikmati dingin dan angin di atas hamparan permadani, kemudian kita berbicara tenang, berbahagia dengan senang, sebuah perbincangan yang amat mengasyikan. Seperti ketika aku dibuat tertawa kala kau ceritakan hal-hal yang ku lakukan ketika kecil dan masih mungil, ketika aku malu-malu mengambil kue kala datang tamu, saat tak sengaja menjatuhkan sesuatu lalu menangis bukan karena sesuatu itu menimpa kaki, namun lebih takut membuat marahmu keluar lagi.
Kemudian tetes-tetes lain keluar untuk kenangan. Kenangan indah, haru, dan bahagia saat aku masih bersama mama, menikmati pagi dengan kesibukanku mencari buku-buku diiringi oleh merdunya omelanmu, menjalani siang dengan tenang di atas ranjang, atau kala malam ketika kau menyuruhku belajar lalu ku bantah dengan perkataan "Ini sedang belajar, belajar memahami kisah di televisi". Banyak kisah yang tak bisa ku ceritakan padamu entah karena memang tak ada atau memang karena begitu menyenangkannya peristiwa kita lantas ku lupa, karena bukankah memang segala peristiwa yang sangat menyenangkan itu bak peristiwa sejarah yang bahkan sebuah potret tak akan mampu mengabadikannya, ia hanya akan menjadi kenangan yang tersimpan dalam kening, rasanya masih terasa, bahagianya tetap ada, namun tak bisa diutarakan dengan kata dan suara.
Lalu butiran terakhir membuncah untuk kejadian-kejadian yang telah aku lalui dengan kasih dan doamu hingga aku sampai pada fase ini. Teruslah hujani aku dengan doamu, deringkan telponku oleh panggilanmu, romansaku untukmu, satu notifikasi darimu lebih berharga daripada seratus pesan dari wanita yang entah maunya apa. Tetaplah sehat, teruslah bersemangat menunggu. impianku ada dalam setiap doamu, dalam denyut nadimu, dalam segala suara yang dilafalkan mulutmu. Kemudian kau usap pipiku. Kering.
Sesudah itu air mataku reda. Rindu mengendap dalam kata. Sehabis itu citaku kecil saja: Ingin pulang ke rumah kala sore, lalu berbincang dengan mama di antara secangkir kopi dan kehangatan senja kemudian berkata "Aku sayang mama" sudah itu saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Contact Form
Postingan Terlaris
-
Di penghujung jalan yang menjadi pemisah antara kenyataan dan kepercayaan, terdapat sebuah toko yang didiami beragam ras dan agama. Bil...
-
Aku menatap kawanan gagak di pelataran menunggu kesiapan. Mencoba berdamai dengan kenangan. Merapikan kepingan-kepingan aksara kemudian...
-
Judul Buku : Lelaki Harimau Penulis : Eka Kurniawan Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tebal : 194 hlm ISBN : 978-602-03-0749-7 Rat...