Aku masih menantikan kau membawa sepucuk harapan di tengah guguran hujan dan rinai daun yang terbang melayang pada bumi yang kemarin di timpa musibah. Tanah ini masih basah, masih sama hangatnya ketika kau aku saling berdekatan, menyulam jarak, sangat dekat tanpa sekat. Ku bukakan sebuah payung pada deras hujan, diantara pagi yang tak lelah menunggu kehangatan. Di antara daun gugur dan rinai hujan itulah, ku biarkan kata yang tak sempat diucapkan terserap akar pohon bunga itu
Menghabiskan jalan-jalan penuh impian bersamamu. Meniti detik demi detak diantara sukaduka dan harubiru burung-burung berhati merah.
Ada yang tak terucapkan kala itu. Hilang tercekat, mengendap dalam gelap yang lembap. Aksara. Terserap. Akar pohon setan itu.
Dari arah depan berjalan siluet remang-remang, kupikir itu kau. Ternyata hanya sebuah kabut tanpa orang. Terbenam bersama dendam yang manis. Mengikraran diri sebagai alam yang penuh tanda tanya. Napasku terasa sesak setelah kabut tadi hilang. Mengapa?
Aku terus bertanya. Mengenai apa, siapa, dan mengapa. Mengenai bagaimana, kenapa, dan haruskah. Namun hembusan angin kini terbelah dua oleh suara kelabu yang terus menertawakanku. Guguran daun juga tersolek oleh sorotan penuh duga dan derita padaku.
Ha-ha-ha. Suara balasan terpendam dalam mulut yang bisu, tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Bahkan kini bibirku ikut berkhianat ! Keparat. Tidakkah kau lihat bagaimana semesta berkonspirasi untuk membuatku menyerah dan putus asa.
Namun sang mega akhirnya berbaik hati membantuku menghentikan hujan.
Kini aku berdiri semampunya, bersama dengan kenangan yang telah mengantarku pada kesucian kepercayaan. Mentari sebentar lagi datang, maka kenanganlah yang akan menang.
Ternyata benar. Kupikir aku akan kehilangan ia. Tapi nyatanya tidak. Pohon yang memang bijak bestari mengembalikannya padaku. Tepat sebelum kau sampai waktu itu. Meski hanya sebuah kata, nyatanya itu sangat bermakna.
Saat itu kau datang membawa keranjang, rambutmu dikuncir, kesederhanaanmu terlalu menohok telak hatiku yang telah memendam beragam perasaan.
Hai. Kataku. Akhirnya hanya itu yang diucap bibirku. Karena hanya aksara itulah yang dikembalikan tuan pohon bijak bestari . Kau tidak akan tahu, kau tidak akan mengerti bagaimana caraku memperjuangkan aksara itu agar keluar dari bibir muram yang berkhianat ini.
Kau tersenyum, kemudian pergi lagi menemuinya. Pelangi telanjang di atasmu.
*) menggunakan larik pada Puisi Sapardi 'Hujan Bulan Juni'