Atas Nama Malam
Atas Nama Malam
Terduduk sila diantara senja dan secangkir pengharapan yang menumpahkan beragam kecemasan. Menara menari bertahtakan lentera temaram pada setiap jendela yang enggan dibuat bicara meski sekadar bertegur sapa. Menikmati rembulan di bawah nyanyian burung-burung hitam yang hinggap di dahan. Melewati langit semesta seperti cerita-cerita orang : suram.
Aku disetubuhi angin yang datang dari barat, membawa sekelebat kabar bercabang tentang anak-anak pinggiran. Sebuah kisah tentang kesengsaraan. Bulu-bulu halus yang hidup dan mengalir dalam nadi ku dibangunkan. Jangkrik-jangkrik berbisik lirih pada kesunyian malam. Bayangkanlah makna lautan yang dalam.
Sepi terbaring bersama dengan terlelapnya rahasia dunia yang fana. Waktu terjebak dalam puing-puing kenangan. Semesta terlalu mini untuk ditebak. Jagat kekecilan bila dibandingkan dengan rahasia yang disimpan penguasa rembulan. Malam. Dengan berjuta kesaksian.
Mesin-mesin penggerak roda kehidupan berjalan monoton, datar tak bergelombang. Seorang bapa menendang-nendang botol bermain dengan sang buah hati yang hampir tolol. Bocah-bocah molor dengan luka dibasuh pelor. Coretan-coretan, celotehan-celotehan orang miskin pada dinding yang tak sudi memberikan jawaban. Salah siapa?
Kita pernah dibuat terpikat oleh sesuatu yang benar-benar semu. Mengharapkan kedigdayaan dari sebuah ketidakberdayaan. Mendoakan keberhasilan dari kegagalan. Mencari yang ada dari yang telah tiada.
Palingkanlah kepalamu ke arah lampu jalanan yang dipingsankan, dibiarkan mengubur seluruh cita dan cinta masa lalu, semua kenangan dan impian yang dulu. Betapa hidup dan kehidupan ini tak pernah memberinya belas kasihan.
Lihatlah ratapan-ratapan penuh siksaan meminta tanggung jawab dari gerombolan yang mengaku insan. Mengharapkan kalian dapat merasakan betapa dahsyat lembutnya kucup penghabisan.
Tidak ada daun yang gugur saat malam, tidak pernah ada pohon yang tumbang dalam kegelapan.
Maka, bersamaan dengan orang-orang yang lelap tidur tanpa pikiran, aku bersumpah.
Atas nama malam yang hitam, aku bersimpuh dengan seluruh keyakinan berbarengan dengan kesunyian dan kegelapan yang kau ciptakan. Bahwa hidupku akan terang di masa depan.
Atas nama malam yang meniduri kebahagiaan, ikrarku bersenang-senang dengan semua orang.
Atas nama malam yang menyimpan sementara kecerahan, aku berjanji... sssssttttt
Kalian tidak perlu tahu, biar janjiku ini tersimpan rapat bersama dengan nyanyian-nyanyian kehidupan dan rahasia-rahasia alam yang terus dipertanyakan.
Sampai kapan?
Aku Kau, dan Aksara
Aku Kau, dan Aksara
Aku masih menantikan kau membawa sepucuk harapan di tengah guguran hujan dan rinai daun yang terbang melayang pada bumi yang kemarin di timpa musibah. Tanah ini masih basah, masih sama hangatnya ketika kau aku saling berdekatan, menyulam jarak, sangat dekat tanpa sekat. Ku bukakan sebuah payung pada deras hujan, diantara pagi yang tak lelah menunggu kehangatan. Di antara daun gugur dan rinai hujan itulah, ku biarkan kata yang tak sempat diucapkan terserap akar pohon bunga itu
Menghabiskan jalan-jalan penuh impian bersamamu. Meniti detik demi detak diantara sukaduka dan harubiru burung-burung berhati merah.
Ada yang tak terucapkan kala itu. Hilang tercekat, mengendap dalam gelap yang lembap. Aksara. Terserap. Akar pohon setan itu.
Dari arah depan berjalan siluet remang-remang, kupikir itu kau. Ternyata hanya sebuah kabut tanpa orang. Terbenam bersama dendam yang manis. Mengikraran diri sebagai alam yang penuh tanda tanya. Napasku terasa sesak setelah kabut tadi hilang. Mengapa?
Aku terus bertanya. Mengenai apa, siapa, dan mengapa. Mengenai bagaimana, kenapa, dan haruskah. Namun hembusan angin kini terbelah dua oleh suara kelabu yang terus menertawakanku. Guguran daun juga tersolek oleh sorotan penuh duga dan derita padaku.
Ha-ha-ha. Suara balasan terpendam dalam mulut yang bisu, tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Bahkan kini bibirku ikut berkhianat ! Keparat. Tidakkah kau lihat bagaimana semesta berkonspirasi untuk membuatku menyerah dan putus asa.
Namun sang mega akhirnya berbaik hati membantuku menghentikan hujan.
Kini aku berdiri semampunya, bersama dengan kenangan yang telah mengantarku pada kesucian kepercayaan. Mentari sebentar lagi datang, maka kenanganlah yang akan menang.
Ternyata benar. Kupikir aku akan kehilangan ia. Tapi nyatanya tidak. Pohon yang memang bijak bestari mengembalikannya padaku. Tepat sebelum kau sampai waktu itu. Meski hanya sebuah kata, nyatanya itu sangat bermakna.
Saat itu kau datang membawa keranjang, rambutmu dikuncir, kesederhanaanmu terlalu menohok telak hatiku yang telah memendam beragam perasaan.
Hai. Kataku. Akhirnya hanya itu yang diucap bibirku. Karena hanya aksara itulah yang dikembalikan tuan pohon bijak bestari . Kau tidak akan tahu, kau tidak akan mengerti bagaimana caraku memperjuangkan aksara itu agar keluar dari bibir muram yang berkhianat ini.
Kau tersenyum, kemudian pergi lagi menemuinya. Pelangi telanjang di atasmu.
*) menggunakan larik pada Puisi Sapardi 'Hujan Bulan Juni'
Subscribe to:
Posts (Atom)
Contact Form
Postingan Terlaris
-
Di penghujung jalan yang menjadi pemisah antara kenyataan dan kepercayaan, terdapat sebuah toko yang didiami beragam ras dan agama. Bil...
-
Aku menatap kawanan gagak di pelataran menunggu kesiapan. Mencoba berdamai dengan kenangan. Merapikan kepingan-kepingan aksara kemudian...
-
Judul Buku : Lelaki Harimau Penulis : Eka Kurniawan Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tebal : 194 hlm ISBN : 978-602-03-0749-7 Rat...